NOTE :
✨Sebelum membaca, tekan dulu bintangnya ya. Coba hargai karya orang ya, readers
✨Ingin berkomentar? Silahkan berkata - kata dengan baik.TERIMAKASIH, SELAMAT MEMBACA!
◼️❤✨❤◼️
Sejak awal kaki keduanya memijak lantai cafe, fokus orang - orang mulai berpindah.
Yang tadinya sibuk dengan pekerjaannya, kini harus rela membuang beberapa menitnya untuk sekedar menatap Fathur dan Ranitha yang memilih duduk di meja pojok.
Samar, Ranitha bisa mendengar bisikan orang - orang yang bertanya dengan siapakah lelaki populer itu datang?
"Mau pesan apa?" tanya Fathur setelah mendapatkan buku menu dari sang pelayan yang juga menatap keduanya penasaran. Ranitha sempat meliriknya lalu tersenyum kecil.
"Ice cream cake aja, dok." Jawab Ranitha setelah menemukan sebuah menu yang membuatnya tak kuasa menahan saliva. Fathur mengangguk paham dan mengambil buku menu itu dari tangan Ranitha.
"Saya pesan lava cake sama cappucinno aja." Sang pelayan berjenis kelamin lelaki itu langsung mencatat pesanan pelanggannya dengan sigap. Lalu mengatakan pada Fathur dan Ranitha untuk menunggunya selama beberapa menit.
"Ayo ngobrol." Ranitha yang sedang menatap keluar jendela sontak menatap Fathur lagi. Dia menahan nafas untuk kesekian kalinya hari ini akibat melihat senyuman manis dan sipitnya mata lelaki itu.
"Sejak kapan dokter pindah tugas ke Bandung?" Ranitha bertanya dengan sekuat tenaga. Fathur memutar bola matanya seolah berfikir.
Dan Ranitha benar - benar merasa sangat bahagia karena mungkin sebentar lagi dia akan mendapatkan informasi pribadi secara langsung dari Fathur.
"Sejak satu bulan yang lalu. Karena waktu itu saya juga memang ingin berpindah kota. Gatau kenapa Bandung itu meninggalkan kesan tersendiri untuk saya, ya alhasil saya mengirimkan surat pindah kesini. Alhamdulillah saya dapat rezeki yang lebih di Rumah Sakit itu." jawab Fathur dengan senyum lagi.
Ranitha ikut tersenyum, Fathur layaknya virus yang membuatnya ikut terjangkit oleh tampang bahagia lelaki itu.
"Saya sebenarnya kaget waktu ngelihat dokter saat itu. Soalnya instagram dokter kan rata - rata isinya hanya tentang politik dan dakwah. Jadi dokter lumayan jarang untuk share tentang kegiatan dokter di Rumah Sakit." Fathur mengangguk setuju dengan ucapan Ranitha. Memang benar adanya.
"Karena ya saya juga nggak pernah ada niatan untuk buka ponsel cuman sekedar update snapgram atau post kalau lagi kerja. Buat apa juga? Saya lebih milih untuk bantuin dokter lainnya, bikin buku ketiga saya, terus masalah politik ataupun dakwah. Rasanya lebih banyak manfaat dan pahalanya kalau gitu daripada saya pencitraan didepan publik."
Ucapan Fathur sukses membuat Ranitha kagum untuk ke seribu satu kalinya. Bermutu sekali hidup lelaki ini.
"Kamu sendiri Ran? Katanya kamu lulusan FEB UGM?" tanya Fathur karena pelayan tadi meletakkan pesanan mereka diatas meja dan langsung pamit pergi setelah cukup lama menjeda perbincangan mereka.
"Iya, dok. Saya baru lulus setahun yang lalu." Jawab Ranitha dengan senyum mengembang, mengingat dirinya saat mengenakan toga dan mendapatkan nilai cum laude dari hasil jerih payahnya selama 4 tahun itu.
"Oh ya? Hebat banget. Terus kenapa nggak lanjut kerja di kantoran?" tanya Fathur lagi sembari melahap kue coklat yang menggugah selera itu.
Ranitha langsung membuang pandangannya sebentar dan menatap Fathur lagi yang tampak menunggu jawabannya.
"Sebenernya saya lulusan sekolah pariwisata saat itu. Saya bahkan sempat pesimis kalau saya nggak mungkin lanjut kuliah karena ya kami anak SMK nggak setara dengan anak SMA."
Ranitha menghela nafasnya pelan lalu tersenyum simpul, mengingatnya membuat Ranitha hanya bisa bersyukur pada Allah.
"Jujur, orangtua saya ingin saya kuliah. Dan itu yang ngedorong saya buat cari referensi meskipun belum ada cukup semangat buat saya untuk kuliah. Tapi saat demo 5 tahun lalu, saat itu dokter menunjukkan diri kehadapan publik."
Fathur tersenyum melihat Ranitha yang menunduk berusaha menghilangkan rona merah diwajahnya. Hingga beberapa detik kemudian Ranitha kembali mengangkat kepalanya untuk menatap Fathur.
"Fikiran saya saat itu adalah saya ingin banget ketemu sama dokter. Tapi berulang kali niat itu terucap, rasanya semua sia - sia. Saya berdoa bukan karena niat ibadah, tapi karena hawa nafsu semata yang seolah memerintah diri saya untuk ya harus bertemu dengan dokter." Ranitha mengusap bibirnya sebentar.
"Tapi beberapa bulan sebelum UN, Allah maha baik, memberikan saya kesempatan untuk datang di kajian yang diisi dokter saat itu. Di masjid Al-Lathiif kalau dokter ingat. Saat itu juga dokter sedang promosi buku pertama dokter yang bahkan ngebuat saya rela sekali untuk mengeluarkan uang yang cukup banyak untuk beli buku itu karena rasa obsesi saya. Bahkan waktu itu, dokter sendiri tanpa sadar notis saya. Dokter lihat instastory saya dan jujur saya langsung guling - guling diatas kasur cuman gara - gara itu doang. Alay emang, tapi apa daya."
Ranitha mengakhirinya dengan terkekeh bodoh. Fathur langsung tertawa manis mendengarnya. Menggemaskan sekali gadis itu.
"Saya baca buku dokter. Ya, saya sangat termotivasi dan terus berusaha untuk bisa meraih jas almamater itu. Dan masya Allah saya berhasil." Fathur ikut tersenyum saat Ranitha menunjukkan senyum penuh kebanggaan itu.
"Tapi disitu saya bingung dok. Saya nggak mungkin terus minta uang ke orangtua. Saya akhirnya nyoba untuk buat kue dari resep yang saya dapet dari sekolah waktu itu. Dan Alhamdulillah lagi, Allah bukain pintu rezeki saya. Dan saya fikir saya lebih baik untuk mengimplementasikan ilmu yang saya dapet itu untuk buka usaha aja."
Ranitha membasahi bibirnya itu lalu membuang pandangannya sebentar pada jendela.
"Dan sampai sekarang, saya rasa keputusan saya sudah benar. Jujur, berkat motivasi dokter dan orangtua saya sendiri, saya bisa nunjukkin kemampuan saya. Saya bisa menampilkan diri saya ke orang - orang. Saya lebih percaya diri dan nggak takut dengan dunia luas."
Fathur mengangguk paham mendengarnya. Menatap Ranitha yang kini tersenyum penuh makna padanya.
"Dan juga saya sangat bersyukur dengan profesi ini, dok. Hal pertama, saya bisa lebih bebas menghirup udara dalam mengais rezeki. Saya bisa ketemu orang - orang dengan jenis watak yang berbeda, bahkan saya lebih senang lagi saat saya bisa ikut kajian kapanpun yang saya mau. Saya bebas kemanapun." Ucap Ranitha dengan tatapan seriusnya. Sepertinya saat ini dia akan mengatakan hal sesungguhnya pada Fathur.
"Hal selanjutnya yang paling saya syukuri saat ini adalah karena kebebasan itu, saya bisa bertemu dengan dokter lagi secara langsung setelah cukup lama saya meminta sama Allah. Bahkan sekarang aja saya masih nggak percaya kalau yang sedang saya jadikan tempat bercerita itu adalah dokter Fathur, lelaki idaman dari para gadis cantik diluaran sana. Betapa beruntungnya saya dan terimakasih karena dokter telah hadir."
◼️❤✨❤◼️
Typo?
Mohon dimaklumi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Abadi Seindah Mimpi✓
RandomMohon maaf kalau ada kesalahan kata karena masih dalam proses pembelajaran. Juga maaf kalau alur cerita yang mungkin kurang menarik karena inspirasi datang dari berbagai cara. Satu pinta author, jadilah pembaca yang bijak dan bisa mengambil setiap p...