Kacamata

1.4K 92 4
                                    

Walau kamu bilang tidak mencintaiku lagi, aku tidak khawatir, sebab cara kamu memandangku masih sama.
Aku tahu kamu hanya sedang berbohong.

-Dean

Naya duduk termenung sendirian di pinggir lapang. Matanya menyaksikan beberapa gadis teman sekelasnya yang tertawa terbahak-bahak dan saling bercerita. Andai Naya punya teman perempuan yang dapat diajak berbagi cerita. Mungkin akan menyenangkan. Namun itu hanyalah salah satu dari beberapa ketidakmungkinan bagi Naya. Apalagi sekarang semuanya menjauhi Naya.

Matanya beralih ke tengah lapang. Terlihat dua kelompok pria sedang bermain basket untuk memanfaatkan waktu pelajaran olahraga yang tersisa beberapa menit lagi. Tapi entah kenapa dari sekian banyak pria itu hanya Raka yang mengundang perhatiannya.

"Astaghfirullah Naya, tidak boleh zinah mata," benaknya. Ia mengedipkan matanya sambil terus menggelengkan kepalanya berharap Raka tidak terus menghantui pikirannya.

Waktu pelajaran terakhir yaitu olahraga yang akan segera usai. Naya bangkit dari duduknya. Ia berniat untuk segera pulang dan bekerja. Kini sepulang sekolah Naya harus bekerja di sebuah restoran milik tante Alvaro untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Baru saja satu langkah...

Bola melayang ke arah Naya dan mengenai lengan sebelah kiri Naya. Lemparan itu cukup keras hingga membuat tubuh Naya hampir jatuh, untungnya Naya masih dapat menahannya, namun tidak dengan kacamata Naya yang kini sudah tergeletak di pinggir lapang karena tubuh Naya sempat tersentak.

Seperti melihat masa depan mantan. Buram! Matanya tidak dapat melihat dengan jelas.

Tangan Naya berusaha meraba. Tapi bukannya kacamata yang di dapat, melainkan injakan kaki tepat di punggung tangan Naya. Naya meringis dan berusaha melepaskan tangannya, tapi si pemilik kaki itu malah makin menguatkan injakannya.

Si pemilik kaki itu pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun bertepatan dengan langkah lain yang mendekat.

Seseorang yang datang itu langsung menarik lengan Naya.

"Siapa?" Naya menghentakkan tangannya.

"Gue,"

Suara itu tidak asing lagi. Raka! Kenapa harus Raka lagi. Dunia sesempit inikah?

Raka menarik kembali lengan Naya. Dan Naya kembali melepaskan tangannya.

"Kacamatanya gak bisa di pake," ucap Raka dingin. Kacamatanya bukan hanya retak tetapi juga remuk. Mungkin terinjak atau bahkan diinjak oleh seseorang yang tadi menginjak tangan Naya. Raka pun kembali menarik paksa lengan Naya menuju parkiran. Raka melakukan ini agar Naya bisa berjalan tanpa tersandung karena penglihatannya yang tidak jelas. Tapi enggak secara paksa juga dong Ka!

"Masuk!" titah Raka sambil membuka pintu mobilnya.

Naya menggeleng sambil menunduk ketakutan. Takut akan Raka yang bersikap kasar seperti beberapa hari lalu.

Lagi-lagi Raka mendorong paksa Naya untuk masuk dan duduk di dalam mobil.

"Gue gak gigit," ucap Raka sebelum menginjak pedal gasnya. Raka dapat membaca ketakutan Naya lewat ekspresi yang ditampilkan.

"Takut sama wajah se tampan ini? Yang bener aja!" benak Raka.

"Raka mau bawa Naya kemana?" tanya Naya memberanikan diri.

Tak ada jawaban.

Tapi Raka tidak menyia-nyiakan kesempatan ini, matanya beberapa kali melirik wajah Naya. Raka berani melakukan ini karena Naya pasti tidak akan menyadarinya. Sudah lama Raka jauh dari gadis disampingnya. Hal ini membuat Raka benar-benar rindu. Melihat wajahnya, membuat rasa marah Raka hilang begitu saja walau belum sepenuhnya.

"Raka masih marah kah sama Naya?" Naya kembali bertanya. Ia memainkan jarinya memegangi bawah baju olahraganya tanda bahwa Naya sedang gugup.

"Hm,"

Raka kembali lagi seperti dulu. Dingin. Pemarah. Egois. Yang tidak berubah adalah ketampanannya yang selalu memikat.

"Raka tidak lucu kalau sedang marah," gumam Naya. Namun cukup jelas ditelinga Raka. Ingin sekali Raka menimpali ucapan gadis disampingnya. Namun ia menahannya.

"Tunggu! Raka tidak berniat untuk menculik Naya kan?" entah kenapa tiba-tiba pikiran Naya melayang pada hal yang tidak-tidak, "Apa jangan-jangan Raka ingin balas dendam karena sakit hati sama Naya terus___"

Raka menghentikan mobilnya.

"Orang bakal berfikir dua kali sebelum nyulik lo!" ucap Raka sebelum keluar dari mobil. Kalimat yang Raka lontarkan membuat Naya memutar otaknya.

Raka membukakan pintu mobil dan menarik Naya keluar.

"Minus berapa?" tanya Raka.

"Siapa?"

"Lo," Ingin sekali Raka menelan Naya jika saja dia bukan manusia.

"9," parah memang!

Orang yang sedang memperhatikan mereka berdua pun langsung membawa beberapa kacamata seakan paham tanpa Raka harus bicara.

Raka mengambil kacamata warna silver yang berbentuk kotak, lalu tangannya bergerak memakaikannya pada Naya.

"Jelas?"

Naya menggeleng. Pandangannya masih buram.

Raka mengambil kacamata lain, warna hitam berbentuk bulat. Dan memakaikannya kembali.

"Gimana?"

Raka! Wajah Raka yang pertama kali Naya lihat. Sedekat ini. Bagaimana bisa Naya berpaling pada yang lain selain Raka. Memang benar. Penghipnotis!

"Gimana?" ulang Raka.

"Tampan. Eh maksudnya iya jelas," Ralat Naya.

"Yang ini pak," Raka mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya.

Mata Naya memperhatikan sekitar. Ini optik. Raka mengajaknya ke optik. Bagaimana bisa Naya berpikir Raka akan menculiknya.

"Terima kasih Raka,"

"Hm,"

"Gue anter lo pulang," Raka memang sedang marah pada Naya. Tapi dia tidak akan tega meninggalkan Naya sendirian disini. Walaupun status mereka bukan lagi pasangan kekasih.

Naya menepuk jidatnya. Naya punya janji pada Devin untuk pulang bersama. Naya benar-benar lupa.

"Naya lupa punya janji untuk pulang sama Devin. Raka duluan saja," jujur Naya. Dia bukanlah orang suka mengingkari janjinya.

"Lo sendirian," ucap Raka. Sebenarnya ada rasa kesal mendengar Naya menyebut nama Devin. Namun entah kenapa ada perasaan khawatir di benak Raka.

"Naya akan kirim Devin pesan untuk menjemput Naya. Raka tidak apa-apa kan?" tanyanya merasa tak enak menolak Raka.

"Hm,"

"Hati-hati," lirih Raka sebelum melajukan mobilnya. Pelan. Sangat pelan hingga Naya tidak dapat mendengarnya.

"Raka tidak apa-apa kah? Kenapa selalu berbohong?" benak Naya.

Naya menundukkan wajahnya. Matanya kini tertuju pada punggung tangannya yang memerah. Pikirannya kembali melayang pada kejadian tadi.

"Dia siapa?"

***

Holla-holla guys...

Minal Aidzin Walfaidzin. Mohon maaf lahir dan batin buat pembaca setianya Dandelion's🙏🙏

Dandelion's [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang