03-About Time

375 67 3
                                    

Lelah bukan berarti menyerah, mengeluh bukan berarti rapuh. Hanya saja semua ini butuh waktu, sekedar untuk mengusir ingatan masalalu.
_Hana Amor Pradipta_




Tia dan Kiya sudah sampai di kelas, tapi tidak dengan Hana. Ia memilih pergi ke atas rooftop, duduk sembari menikmati setiap angin yang masuk ke dalam pori-pori kulitnya. Seketika bayangan ayahnya muncul di pikirannya, mengingat setiap kejadian yang menimbulkan luka di dadanya.

*Flashback On

"Kenapa papa memutuskan untuk menikah lagi? Dan secepat itukah?" Hana masih menunduk di kursi dengan air mata yang mengalir.

"Ini semua gara-gara ibumu!"

"Pa, setidaknya tunggu sampai satu bulan setelah kepergian mama. Kasihan mama, pa. Dia mungkin nggak tenang di alam sana. Secepat itu papa menggantikan nama mama di hati papa?" Ucapnya dengan lirih.

"Kasihan? Untuk apa kasihan dengan perempuan jalang macam ibumu!" Suara Pradipta semakin mengeras.

"Cukup, pa! Jangan panggil mama perempuan jalang lagi!"

"Cihh! Itu memang sebutan yang pantas! Hana, Melihat mukamu membuat saya teringat kelakuan busuk ibumu! Muak! Pergi dari hadapan saya!"

"Pa, apakah kesalahan mama akan membuat papa membenci Hana juga?" Suaranya sangat parau.

"Oh, jelas! Saya akan menikah dengan Kesya serta memanjakan anakku Kayla. Saya tidak ingin terlalu mengurusimu dan hal itu akan membantuku melupakan ibumu!"

"Papa, jahat! Hiks! Mama, papa jahat!" Hana langsung pergi ke kamar dan membanting pintu dengan keras. Hatinya bak diiris-iris pisau, perih. Ia menenggelamkan wajahnya di bawah bantal dan menangis sesegukan hingga tertidur.

*Flashback Of

Hana membiarkan air matanya jatuh dan mengering sendiri, kali ini dirinya membiarkan segala luka mengalir melintas di pikirannya. Ia menatap langit begitu sendu.

"Ma, aku kangen. Aku lelah." Lirihnya.

Tiba-tiba sebuah sapu tangan terpampang jelas di depan matanya, ia mendongakkan kepalanya dan mendapati Fariz tengah berjongkok dan tersenyum padanya.

Hana mengambil sapu tangan itu.

"Makasih."

"Tiap kali ketemu, lo selalu dalam keadaan menangis. Kenapa sih?" Tanya Fariz.

"Bukan urusan lo!"

"Hana, terkadang kita juga membutuhkan seorang pendengar. Meski kadang tak selalu memberi solusi, setidaknya hati kita menjadi lebih tenang."

Hana hanya terdiam, tak mampu mengelak ucapan Fariz karena yang dikatakan memang sepenuhnya benar. Tak selamanya hidup ditanggung sendiri, ada kalanya kita benar-benar membutuhkan orang lain.

"Cerita sama gue, Na! Gue nggak bisa liat lo sendu tiap hari."

"Belum saatnya, Riz. Gue nggak mau berbagi keluh pada orang lain."

"Ya udah kalo lo nggak mau cerita. Tapi, gue boleh nemenin lo disini kan?" Hana hanya mengangguk mengiyakan.

"Btw, lo cantik."

"Gue tau." Fariz terkekeh mendengar jawaban dari Hana.

"Kenapa lo lembut sama gue? Kita kan baru kenal. Terus juga kata Kiya, lo tuh terkenal banget sama sikap dingin dan kejam. Tapi saat sama gue, kok lo beda dengan apa yang mereka ceritakan?" Tanya hana dengan raut muka yang bingung.

Hana Life Story [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang