14. Pulang

1.6K 204 10
                                    

Beby berjalan dengan senyum lebar ke arah Shani dan Gracia. Ia mengangkat ibu jarinya ke udara. "Semuanya beres."

Mata Shani memicing, ia berdiri, tangannya ia lipat ke depan dada. Meminta penjelasan apa yang dilakukan Beby tadi. Ia dan Gracia melihat dengan jelas saat Beby malah asik bermesraan dengan cewek tadi.

"Ntar gue jelasin," ucap Beby. Ia menoleh ke arah Aiko. "Kunci kamar Badrun dong, ada serepnya gak?"

Aiko mengangguk, ia melemparkan sebuah kunci dan langsung di tangkap Beby dengan sempurna. Beby, Shani dan Gracia berjalan menuju kamar Vivi. Beby langsung memasukkan kunci kedalam lubang kunci, karena tidak mungkin Vivi tidak mengunci kamar.

Pintu terbuka, Beby masuk pertama kali lalu disusul Shani dan Gracia. Vivi terkejut dengan kedatangan mereka bertiga, ia sedang berdiri menatap keluar jendela. Ia berbalik badan saat mendengar pintunya terbuka dari luar.

"Kak Shani," lirih Vivi. Ia sudah berganti pakaian dengan kaos lengan pendek dan celana pendek.

Shani dan Vivi saling bertatapan sebelum akhirnya Vivi memalingkan wajahnya kembali menatap ke pemandangan di luar jendela.

"Dek," Shani berjalan mendekat ke arah Vivi. Beby memilih untuk duduk di atas kursi di depan meja sambil tangannya mencari makanan yang bisa ia gunakan untuk mengganjal perutnya.

Pintu ditutup oleh Gracia lalu ia berdiri bersandar di pintu. Vivi sama sekali tidak bergeming, padahal Shani sudah berdiri tepat di belakangnya.

"Kakak minta maaf," lirih Shani.

Vivi masih terdiam, ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Pandangannya mengarah ke seorang ibu dengan anak yang berjalan beriringan menyusuri terotoar.

"Lu nyimpen pil, Drun?!" pekik Beby sambil mengangkat satu botol berisi pil.

Vivi menoleh cepat, selama ini ia tidak pernah menggunakan pil. Ia menatap malas ke arah Beby, "Gue pikir lo gak buta, jelas-jelas itu obat tidur."

Beby tertawa, sebenarnya ia tau karena di botol tertera tulisan obat tidur yang dicetak tebal. Ia hanya ingin mencairkan suasana yang terlalu tegang.

"Canda, gitu doang marah. Udah kek emak-emak gagal dapet diskon." Beby memutar kursinya sampai menghadap Vivi, ia menyilangkan kakinya, tangannya ia lipat ke depan dada, punggungnya bersandar ke sandaran kursi.

"Kalo kalian kesini cuma pengen gue pulang, sorry, gue ga mau." ketus Vivi.

Shani terdiam sebentar, "Maafin kakak, dek."

Beby tertawa kecil, ia teringat saat Chika bercerita jika Vivi sempat memukul kaca mading. Tapi saat ia melihat tangan Vivi, sama sekali tak ada perban yang menempel. Ia tau jika Vivi selalu menyimpan semua lukanya sendirian.

"Disini gak ada yang ngelawak, ngapain lo ketawa?" Vivi menatap tajam ke arah Beby.

Beby semakin tertawa mendengar ucapan Vivi, "Lucu aja, lo sok kuat nyimpen semua masalah lo sendirian. Seakan lo gak butuh orang lain, gak butuh Shani, gak butuh gue, atau Mira. Mau sampe kapan lo pura-pura?"

Vivi tersenyum miring, ia menyandarkan tubuhnya ke jendela. "Lo sendiri yang bilang kalo gak ada yang bisa nyelesain masalah kecuali diri sendiri."

Kepala Beby mengangguk sekali, ia berjalan mendekati Vivi. "Bener, tapi yang lo lakuin itu bukannya bertahan, tapi malah kabur."

Tangan Beby terangkat membuka kemejanya, memperlihatkan ada benda kotak kecil yang terpasang di kaos putihnya. Vivi mendelik, ia tau betul itu adalah alat perekam suara. Karena Beby pernah memberitahuinya dulu.

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang