38. Kabar

1.2K 169 11
                                    

"Kamu bisa ngompres sendiri kan?" tanya Shani sambil meletakkan baskom di bawah. Vivi menganggukkan kepalanya, ia melompat turun dari atas kasur dan membuat Shani menatapnya karena ia mendarat dengan kaki kirinya.

"Turun gak pake lompat emang gabisa?" ketus Shani.

Vivi terkekeh, "Mau ngetes masih sakit apa enggak."

Shani menghela napas panjang, ia melihat Chika yang serius belajar di meja belajar Vivi. Hampir setiap hari ia melihat Chika belajar tiap malam, tapi ia jarang sekali melihat Vivi belajar, padahal sebentar lagi UAS.

"Kamu gak belajar?"

Vivi mendongakkan kepalanya lalu menggeleng pelan, "Gak ada peer."

"Emang belajar harus ada peer dulu?"

"Iyalah, semua orang juga gitu." Jawab Vivi enteng.

Shani menatap Chika, "Chik, kamu besok ada peer?"

Chika menoleh ke belakang lalu menggeleng, "Enggak sih."

"Tuh," ucap Shani sambil menunjuk ke arah Chika, ia menatap tajam ke arah Vivi. "Chika gak ada peer tapi juga belajar."

Vivi mengambil handuk yang ada di dalam baskom itu, ia menaikkan celana kolornya sedikit ke atas lalu meletakkan handuk itu diatas lutut kirinya, ia hendak mengacuhkan ucapan Shani barusan.

"Dek," panggil Shani.

"Buat apa belajar? Nanti lulus langsung disuruh ke Thailand." Jawab Vivi.

Vivi kembali mengungkit tawaran ayahnya kemarin, dua hari lagi ayahnya akan pergi ke Thailand dan mungkin besok atau lusa ayahnya akan datang dan menagih jawaban dari dirinya. Chika terdiam, ia kembali menoleh ke depan, tangannya mengambil earphone dan memasang ke lubang telinganya, entah apapun itu ia tidak ingin mendengar pembicaraan antara Vivi dan Shani.

"Kamu udah mutusin jawabannya?" Shani duduk di depan Vivi.

Vivi mengangguk pelan, "Aku mau ngasih satu kesempatan, lagipula dia ayahku, kan?"

Shani tersenyum, ia menepuk pelan pundak Vivi, "Ngompres yang bener, kakak mau ke kamar dulu."

"Mau berduaan sama kak Gracia, kan?" tanya Vivi sambil menaik turunkan kedua alisnya. Shani mengibaskan tangannya ke atas lalu langsung menutup pintu kamar Vivi tanpa berniat menjawab ucapan Vivi barusan.

Vivi mengangkat kedua bahunya keatas, baru saja Gracia datang ke rumahnya, dan sekarang Shani tidak mengompres lututnya itu berarti Shani ingin berduaan dengan Gracia. Ia sendiri memilih tidak peduli dengan urusan Gracia dan Shani, yang jelas Gracia bertanggung jawab dengan Shani itu sudah lebih dari cukup.

Sebenarnya Vivi adalah anak yang pintar, bahkan selalu mendapat peringkat tiga teratas di kelasnya. Beby pun tahu kalau dirinya itu sangat pintar. Tapi semenjak Viny pergi, ia memutuskan untuk tidak mau belajar atau malah ia malas untuk sekolah. Itulah mengapa nilai rapotnya tidak pernah bagus. Bahkan di SMA ini ia selalu menjadi peringkat bawah di dalam kelasnya, berbeda dengan Mira yang selalu mendapat peringkat lima besar di kelas mereka.

Satu alasan utama yang mendasari dirinya berubah adalah, dia tidak ingin teringat Viny lagi. Karena sejak ia kelas satu SD, Viny dan Yona yang bergantian mengambil rapotnya, tapi setelah Yona pergi, hanya Viny saja yang mengambil rapotnya. Ayahnya tidak pernah sekali pun mengambil rapot ke sekolahannya. Dan setiap kali ia mendapat peringkat tiga besar, Viny akan memeluknya dengan sangat erat dan mengatakan seperti ini.

"Kakak bangga punya adik pinter kayak kamu, kamu keren. Nanti kakak traktir es krim."

Vivi menghela napas panjang, ia mengusap kelopak matanya yang berkaca-kaca, ia tidak ingin saat ia mendapat peringkat di kelas, tapi tidak ada yang mengatakan seperti itu kepadanya. Jadi ia memilih untuk mengubur semuanya, termasuk mimpinya menjadi arsitek.

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang