41. Dua hari

1.1K 171 4
                                    

"Kak, aku tidur di kamar kak Viny, ya." Ucap Vivi setelah menyelesaikan makan siangnya.

Shani yang sedang mencuci piring langsung menoleh ke belakang, takut sesuatu terjadi pada Vivi. "Kenapa?"

"AC di kamar ku gak dingin." Jawab Vivi. "Boleh ya?"

Shani menganggukkan kepalanya, "Iya, jangan aneh-aneh."

"Siap bos." Vivi berjalan menaiki tangga.

Sudah dua hari semenjak ia memutuskan untuk melepas semua alat bantu yang selama ini dipasang di tubuh ayahnya, sejak itulah ayahnya dipastikan meninggal dunia. Tak ada yang indah dari sebuah kata pergi dan tak ada yang tersisa selain hanya memori.

Sebelum dokter melepas alat bantu itu, Vivi dan Shani sempat berdebat kecil, bahkan Beby juga ikut-ikutan menyuarakan pendapat, sedangkan Chika memilih untuk menarik diri.

Beby dan Shani mempunyai sedikit keyakinan jika ayahnya Vivi masih ada harapan, tapi tidak dengan Vivi. Vivi sudah benar-benar yakin kalau ayahnya sudah meninggal, seperti pembicaraan yang ia dengan tempo hari.

Vivi sendiri tidak tahu alasan yang pasti mengapa dokter tidak mengatakan yang sebenarnya, dan ia juga tidak ingin tahu. Karena yang jelas, ayahnya, satu-satunya keluarga yang masih tersisa, kini sudah tiada.

Vivi menghela napas panjang, ia masuk ke dalam kamar Viny. Ia berjalan ke arah lemari pakaian Viny, ia mengambil kemeja warna abu muda milik Viny. Ia tidka berbohong kepada Shani menyangkut AC di kamarnya, karena tadi pagi ia sengaja merusak AC kamarnya agar saat ia berbohong tidak ketahuan.

"Kak, ayah udah pergi." Ucap Vivi tiba-tiba.

Ia memakai kemeja milik Viny itu lalu ia masuk ke dalam ruang yang berisi lukisan. Chika sedang sekolah, lebih tepatnya berlatih basket karena tinggal empat hari lagi sebelum lomba basket itu di mulai.

Setelah menyalakan lampu di ruangan itu, Vivi menghampiri satu lukisan yang berisi gambar sepasang orang tua dan tiga anak perempuan. Vivi duduk di depan lukisan itu, ia memeluk lututnya.

Kini tersisa dirinya sendiri, ia terlahir sebagai anak terakhir dan ia juga yang harus berjuang sampai akhir. Jari tangan Vivi terulur dan mengusap wajah seorang perempuan yang berada di sebelah seorang laki-laki yang wajahnya mirip dengan ayahnya.

Air matanya langsung menetes, ia teringat saat Viny mengatakan bahwa ini adalah wajah ibu mereka. Ibu yang belum pernah ia lihat sepanjang hidupnya, bahkan ia tidak tahu bagaimana suara dari ibunya sendiri.

"Andai kak Viny disini, pasti kita bisa berjuang sama-sama." Lirih Vivi.

Vivi menundukkan kepalanya, meletakkan di atas lututnya. Otaknya memutar kejadian beberapa hari yang lalu saat ia terakhir kali melihat ayahnya berdiri di depan pintu rumahnya dan ia menolak untuk memeluk tubuh ayahnya.

Sekarang ia menyesali perbuatannya, andai waktu bisa diputar kembali, ia pasti akan dengan senang hati memeluk tubuh ayahnya dan melupakan semua kesalahan yang pernah ia buat.

Sayangnya ini bukan kartun Doraemon, atau lenong dimana ia bisa bertemu lagi dengan sosok yang telah meninggal, bukan pula 13 reasons why. Inilah kenyataan yang harus ia terima, sekali ia kehilangan maka tak ada yang bisa ia lakukan untuk membuat mereka kembali lagi.

"Dek," Vivi menoleh, ia melihat Shani berdiri di depan pintu.

"Kak Shani." Ucap Vivi dengan nada suara yang bergetar.

Shani langsung menghampiri Vivi dan memeluk Vivi dengan sangat erat. Vivi masih menekan perasaannya sendiri, bahkan Vivi tidak menangis saat melepas kepergian ayahnya. Dan sekarang, semuanya tumpah, saat tidak ada yang bisa dilakukan selain menyesali perbuatan yang kemarin.

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang