42. Sekolah

1.2K 171 12
                                    

Vivi duduk di samping kasurnya, tangannya tengah memegang stik ps. Ia sedang bermain ps, Gracia sudah pulang satu jam yang lalu, dan terpaksa ia harus bermain sendiri. Sesekali ia bergumam tidak jelas, atau menggerutu karena ia hampir kalah, atau mencaci maki stik psnya.

Sebenarnya Chika cukup terganggu dengan suara dari game dan suara dari mulut Vivi, sehingga ia tidak bisa konsentrasi penuh saat belajar. Namun ada hal lain yang mengganggu pikirannya kali ini, sepulang sekolah tadi ia sempat menguping pembicaraan antara Shani dengan Beby. 

Ia menebak apakah Vivi akan benar-benar pergi ke Thailand dan meninggalkannya, tapi mengapa sampai sekarang Vivi sama sekali tidak mengatakan sesuatu pada dirinya. Vivi juga terlihat biasa saja seolah tidak terjadi apa-apa. Chika menghela napas panjang, ia menoleh ke belakang dan melihat Vivi masih bergelut dengan game itu.

Chika memutar kursinya, sepertinya ia harus bertanya langsung kepada Vivi, ia tidak ingin tiba-tiba Vivi pergi tanpa mengucapkan atau menjelaskan sesuatu. “Kak,”

Vivi menoleh ke samping sebentar lalu kembali menatap ke depan, “Apa?”

Chika terdiam sebentar, ia menatap Vivi dari samping. “Tadi aku denger kak Beby sama kak Shani ng-“

“-anjir.” Pekik Vivi tiba-tiba sampai membuat Chika sedikit terkejut. Vivi mengangkat kabel psnya yang putus akibat ia menariknya terlalu kencang. “malah putus.” Sambungnya.

Tanpa menghiraukan ucapan Chika barusan, atau lebih tepatnya ia tidak mendengarkan ucapan Chika. Vivi langsung berlari keluar kamar sambil membawa stik psnya yang sudah tanpa kabel. Ia mengetuk pintu kamar Shani dengan cepat.

“Kak, kak Shani.” Panggil Vivi.

Pintu kamar itu terbuka, ia melihat Shani berdiri di depannya dan di samping Shani ada Beby. Keningnya berkerut, ia bingung mengapa Beby bisa ada di dalam kamar Shani, padahal kalau mengobrol biasanya Beby dan Shani memilih mengobrol di dapur atau di ruang tamu.

“Kenapa?” tanya Shani.

Vivi tersadar dengan tujuan awalnya ia datang kesini, ia mengangkat stik ps nya yang sudah berubah menjadi wireless ke depan Shani. Bibirnya mengerucut, ia sudah siap untuk mengadu kepada Shani.

“Stik psku putus.” Ucap Vivi sambil pura-pura menangis.

Shani mengambil stik itu dari tangan Vivi, “Kok bisa?”

“Ketarik tadi,” ucap Vivi. “dulu aku minta buat beliin yang wireless tapi kak Shani gak mau, sekarang malah putus.” Sambungnya.

Shani menghela napas panjang, “Kamu mainnya gak hati-hati makanya putus.”

Vivi mendengus sebal, “Kakak gak pernah main ps sih.”

Beby tertawa kecil, “Ps 5 bentar lagi rilis, beli aja.”

Kedua bola mata Vivi berbinar, ia menatap ke arah Shani, berharap Shani mau membelikan ps 5 itu. Sebenarnya ia bisa saja langsung membeli, tapi sejak bulan kemarin semua tabungannya dibawa Shani, sehingga ia harus laporan dulu sebelum membeli sesuatu.

Shani menatap ke arah Beby, lalu kembali menatap Vivi, “Kan yang putus cuma satu, kamu masih punya satu lagi, kan?”

Senyum Vivi luntur, “Iya, tapi kan gak bisa main sama kak Gracia.”

Shani mengembalikan stik ps itu kepada Vivi, “Berarti mainnya sendiri aja.”

Vivi berdecak kesal, Beby tertawa melihat Vivi yang semakin kesal karena Shani tidak mau membelikan ps yang baru untuk Vivi. Beby jadi terpikir bagaimana bisa Vivi memimpin suatu perusahaan yang cukup besar jika masalah kecil seperti ini saja Vivi sudah kewalahan. Tadi ia dan Shani sempat berdebat kecil masalah perusahaan di Thailand itu, dan belum menemukan titik terang sampai sekarang.

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang