60. Plot twist

1.6K 184 25
                                    

Vivi kembali masuk ke dalam kamarnya, ia meletakkan tongkatnya bersandar di sofa lalu ia berbaring di atas sofa. Tanpa sengaja, bola matanya bergulir ke bawah ranjang dan melihat apel bekas gigitan Dey ada di bawah sana.

Vivi turun dari sofa, ia mengambil apel itu lalu membawanya ke atas sofa. Ia teringat saat mengatakan jika ia bisa membunuh Ariel saat itu juga. Sekarang ia bertanya-tanya, kalau memang ia diberi kesempatan untuk membunuh orang lain, sama seperti Oniel, apakah ia akan melakukannya atau malah berakhir seperti Oniel, lagi.

Vivi memasukkan apel itu ke dalam tong sampah, ia mengambil ponselnya yang terus berdering. Keningnya berkerut saat mendapati sebuah nomer asing menelfonnya.

"Halo." Ucap Vivi sambil duduk di tepi ranjangnya.

"Kami menangkap sinyal aneh dari salah satu orang yang anda minta untuk kami jaga."

Vivi mengerutkan keningnya, ia menggaruk pipinya, tidak paham dengan apa yang dibicarakan oleh laki-laki yang menelfonnya ini. "Siapa?"

"Atas nama Chika."

"Chika-Chika di dinding, diam-diam merayap, datang seekor nyamuk. Hap. Lalu ditangkap." Bukannya merasa khawatir dengan Chika, tapi Vivi malah bernyanyi.

"Yessica Tamara." Ucap laki-laki itu yang sepertinya seorang polisi yang Vivi minta untuk menjaga Beby, Shani dan Chika.

"Iya saya tahu," Ucap Vivi. "bukannya saya minta satu hari, ya?"

"Disini tertulis kalau satu minggu atau tujuh hari."

Vivi tertawa kecil, ia merasa kasian dengan polisi-polisi itu yang terus menjaga tiga orang selama tujuh hari. Lain kali ia akan meminta maaf langsung kepada Veranda dan juga polisi ini.

"Oh ya, Chika kemana?" Tanya Vivi.

"Kami belum tahu karena mobilnya masih terus bergerak."

Vivi mengangguk-anggukkan kepalanya, ini pasti ulah Alex atau pak Amar yang ingin main-main dengan dirinya lagi. Oke, sepertinya kesempatan untuk membunuh seseorang kembali ada malam ini.

"Ada ciri-ciri yang bawa Chika?" Tanya Vivi untuk memastikan apakah pak Amar atau si Alex.

"....."

Vivi membulatkan matanya, tangannya mengepal sampai bergetar. Jangan-jangan apa yang diucapkan Ariel tadi benar. Vivi memukul keningnya pelan, bisa-bisanya ia membiarkan hal itu terjadi tepat di depan matanya.

"Tolong jemput saya di rumah sakit, pake motor." Ucap Vivi.

"Sudah ada satu orang dengan sepeda motor di depan rumah sakit."

Vivi tersenyum miring, memang cekatan polisi-polisi saat ini. "Bagus."

"Tapi kami belum tahu dimana posisi akhir mobil itu."

"Saya tahu." Ucap Vivi kemudian mematikan sambungan telfon itu. Dengan ciri-ciri yang disebutkan pak polisi tadi, ia sudah tahu siapa yang berbuat ini semua.

Kakinya ia angkat ke atas untuk melihat apakah ada darah karena ia terus berjalan tadi atau tidak. Vivi menghela napas lega, sepertinya sebentar lagi lukanya akan sembuh dan jahitannya akan mengering, jadi ia tidak perlu susah payah jalan memakai tongkat lagi.

Vivi mengambil tongkatnya lalu berjalan keluar dari kamarnya dengan langkah yang sedikit cepat. Ia tidak menghubungi Shani dan Beby karena ia tidak mau membuat mereka berdua khawatir dengannya.

"Saya yang di depan." Ucap Vivi sambil memberikan tongkatnya kepada polisi itu.

Tanpa membantah apapun, polisi itu mengambil tongkat Vivi dan membiarkan Vivi yang mengambil kendali motor ini. Vivi mengenakan helm dan langsung menancap gas pergi dari rumah sakit menuju tempat yang sangat ia kenal.

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang