6. Tawaran

1.8K 187 1
                                    

"Kak, tadi Vivi ceroboh lagi. Udah tau lututnya masih sakit, malah sok-sok an nari." Shani tertawa kecil sambil mengusap air mata yang berada di pipinya.

Kepala Shani menunduk sebentar lalu ia mengangkat kepalanya, memaksakan diri untuk tersenyum. "Maaf ya kak, aku belum bisa jaga Vivi sepenuhnya. Pasti kak Viny kecewa, soalnya Vivi tambah bandel. Vivi udah mulai rajin sholat seperti yang kak Viny harapin. Kak Viny tenang aja, aku bakalin jagain Vivi sama seperti kak Viny jagain aku dulu."

Tangan Shani mengusap nisan itu, "Udah lama aku gak kesini ya kak, bukannya aku lupa sama kakak. Tapi aku takut bakal keinget kejadian waktu itu. Tadi pagi ada salam dari ibuk bapak buat kamu. Udah dulu ya kak, aku mau manggil Vivi buat kesini, katanya tadi mau nyusul tapi gak dateng-dateng."

Shani bangkit sambil membawa wadah bekas bunga tabur dan botol bekas itu. "Aku pergi dulu, ya kak."

Ia mengusap air matanya sambil berjalan, di tengah perjalanan ia berpapasan dengan Vivi yang hendak memasuki pemakaman sambil membawa kedua benda yang sama saat ia bawa masuk ke makam.

"Mau kakak anterin?" Vivi menggeleng lemah, lalu melanjutkan jalannya masuk ke pemakaman. Shani mengangguk mengerti, sepertinya ia akan menunggu di warung saja.

Di pemakaman ini telah bersemayam dua orang yang sangat ia cintai, yang satu ibunya dan yang satu lagi kakaknya.

Pertama ia berjalan menuju makam ibunya, karena ia tahu jika Shani sudah membersihkan makam Viny. Sekarang gantian ia membersihkan makam ibunya.

"Halo buk, Vivi dateng lagi." sapa Vivi sambil sesekali tertawa.

Ia tidak berjongkok karena lututnya masih terasa sakit, ia sudah menyediakan kursi kecil disana. Ia duduk di atas kursi itu, tangannya dengan lihai mencabuti rumbut yang sebenarnya sudah cukup bersih.

"Ibu bosen gak kalo Vivi dateng terus?" Tangan Vivi menaburi bunga tabur di atas makam ibunya.

"Ibu pasti lagi main-main sama kak Viny," Vivi terkekeh, ia mengambil botol lalu menyirami makam ibunya dengan air dari botol itu. "Maaf ya buk, soalnya gak ada pertanyaan lain selain itu. Oh ya buk,"

Vivi meletakkan botol itu di depannya dan mulai bercerita sama seperti yang biasa ia lakukan. "Tadi Vivi ceroboh lagi, lutut Vivi sakit lagi. Maafin Vivi ya buk, Vivi janji bakal berusaha gak ceroboh lagi. Ibuk tenang aja, Vivi udah rajin sholat 5 waktu. Vivi mohon sama Tuhan buat nemuin kita suatu saat nanti."

Tangan Vivi terulur mengusap nisan ibuknya, "Udah dulu ya buk, Vivi mau nemuin kak Viny dulu."

Perlahan Vivi bangkit dan berjalan ke makam kakaknya yang tak jauh dari makam ibuknya sambil membawa kursi kecil itu di tangannya.

"Hai kak Viny," ia duduk di atas kursi di samping makam Viny. Ia menatap makam yang masih basah, "Kak Shani udah ngobrol banyak sama kak Viny ya. Maaf ya kak, Vivi masih bandel."

Tatapannya Vivi beralih ke lutut kirinya, "Kak, harusnya lututku udah gak kerasa sakit lagi. Tapi kenapa pas aku nari tadi masih sakit ya kak? Apa aku udah ga bisa nari lagi kak? Aku takut kalo beneran gak bisa nari. Aku ga mau ngecewain kak Viny lagi."

"Kak aku masih nari lagi kan, kak?"

"Lulus SMA nanti aku bakal jagain kak Shani, karena aku udah dewasa."

"Oh ya kak, semalem aku liat ada adik kelasku main basket, sebenernya permainannya biasa aja, tapi ada satu hal yang bikin aku penasaran."

"Aku melihat kecintaannya terhadap basket sama seperti rasa cinta kakak pada seni. Dia ga kenal siang atau malam, sama kayak kakak waktu bergelut dengan kuas dan cat warna. Aku seperti ngelihat sosok kakak pada dirinya."

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang