29. Malu

1.6K 180 22
                                    

"Lo seharusnya gak kasar." Vivi menoleh, ia melihat Beby berdiri di depan kamarnya. Keningnya berkerut, ia bingung dengan maksud ucapan Beby.

"Gue gak kasarin Chika, kok."

Beby menghela napas panjang, ia melipat kedua tangannya ke depan dada, punggungnya ia sadarkan ke tepi pintu. "Bokap lo."

Vivi kembali melanjutkan aktivitasnya yang tertunda, ia mengambil kaos dan celana pendek, perlahan ia melepas seragamnya. Baru saja ia pulang setelah jalan-jalan dengan Chika, ia pikir Beby juga sudah pulang, ternyata masih disini.

"Drun," panggil Beby lagi. Beby sangat tau kalau Vivi paling anti kalau membahas hal ini.

Vivi tetap tidak menghiraukan ucapan Beby, ia mengganti pakaiannya seakan tidak ada Beby di sana.

"Drun," Vivi masih tidak menjawab panggilan Beby.

Beby mengusap kasar wajahnya, "Viona Fadrin, adik Viviyona Apriani dan Ratu Vienny Fitrilya."

"Chika masih di bawah?" Bukannya menjawap ucapan Beby, ia malah berbalik menanyakan keberadaan Chika.

Tanpa menunggu jawaban dari Beby, ia segera keluar dari kamarnya, namun tubuhnya dihalang oleh tangan Beby, ia jadi tidak bisa keluar. Beby mendorong pelan tubuh Vivi ke belakang.

"Apaan sih?" Ketus Vivi.

"Lo yang apaan," ucap Beby sambil mengarahkan telunjuknya ke dada Vivi.

Vivi menepis kasar tangan Beby, "Ini bukan urusan lo."

"Ini urusan gue, karen-"

"-kak Viny? Iya?" Vivi menatap tajam ke arah Beby, "Gue udah bukan anak kecil lagi, gue tau apa yang harus gue lakuin."

Beby mengepalkan tangannya, ia benar-benar menekan emosinya, tangan kirinya bergerak ke belakang untuk menutup pintu kamar. Ia tidak ingin Shani mendengar pembicaraan mereka.

"Kalo lo bukan anak kecil lagi, harusnya lo bisa kontrol emosi lo sendiri. Harusnya lo gak mudah kepancing sama kehadiran bokap lo. Harusnya lo lebih gunain otak lo ketimbang mulut lo." Ucap Beby sambil menekankan setiap kata yang keluar dari mulutnya.

"Lo tau apa? Hah? Lo gak tau apa-apa. Lo ada disini cuma gara-gara kak Viny, kan? Lo peduli karena lo disuruh kak Viny. Iya kan?"

Beby terdiam, ia membenarkan semua ucapan Vivi. Andai saja ia tidak terikat janji dengan Viny, ia pasti tidak menanggung beban seberat ini. Tapi nasi sudah menjadi bubur, tidak ada yang bisa ia lakukan selain merubahnya menjadi bubur ayam.

"Ini masalah gue, jadi lo gak usah ikut campur." Ucap Vivi.

Tangan Beby terangkat dan mencengkeram krah baju Vivi. "Lo ngomong kayak gitu seakan lo hidup sendiri."

"Dari awal gue emang sendirian."

"Lo lupa Shani." Tegas Beby.

Vivi terdiam. Beby semakin erat mencengkeram krah baju Vivi.

"Lo mikir gak kalo ucapan lo itu nyakitin perasaan Shani. Lo susah seneng sama Shani. Orang yang pertama kali panik waktu lo pergi itu Shani. Lo pernah gak sih mikir sekali aja tentang Shani? Pernah gak?"

Vivi menggelengkan kepalanya pelan, Beby mendorong pelan tubuh Vivi ke belakang, ia melepaskan tangannya di krah baju Vivi.

"Shani gak punya janji sama Viny buat peduli sama elo. Tapi dia takut kehilangan elo. Dan yang sekarang lo lakuin adalah main-main sama maut." Ucap Beby sambil merapikan bajunya yang sedikit kusut.

"Denger," Vivi menoleh saat Beby menyentuh pundaknya. "Sekali-kali mikirin perasaan orang di sekitar lo. Inget gak gue dulu pernah ngomong apa?"

Vivi menganggukkan kepalanya, "Death doesn't happen to you, it happens to everyone around you."

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang