27. Berani

1.6K 187 16
                                    

"O o ya oya oya bongkar." Vivi menggumamkan sepenggal lirik lagu sambil membuka gerbang rumahnya.

Kali ini Shani tidak bisa menjemputnya, sehingga ia dan Mira terpaksa harus pulang naik mobil online. Mira berjalan di belakang Vivi, ia menggelengkan kepalanya melihat tingkah Vivi yang seperti anak kecil, melompat-lompat sambil bernyanyi-nyanyi. Padahal kaki kanan Vivi belum benar-benar sembuh.

"Mobil siapa?" Tanya Mira. Vivi berhenti melompat, ia menoleh ke kiri. "Kak Gracia mungkin."

"Anak horang kaya ternyata." Gumam Mira.

Vivi terkekeh, "Gonta-ganti mobil, pasti juragan rental mobil."

"Calon kakak ipar lo emang mantep banget."

"Yoi." Vivi menganggukkan kepalanya, ia kembali melompat-lompat sambil bernyanyi kecil masuk ke dalam rumahnya.

"Aku pu-" teriakan Vivi terhenti saat ia melihat seorang laki-laki duduk di atas sofa. Laki-laki itu tersenyum ke arah Vivi, senyum yang tidak pernah ditujukan kepada dirinya sebelumnya. Tubuhnya mematung di sana, ia masih terus menatap laki-laki itu.

"Aku pulang." Ucap Mira sambil mendorong tubuh Vivi yang menghalangi langkahnya. Ia menoleh ke kiri, ia sedikit terkejut melihat seorang laki-laki duduk di atas sofa. Perlahan ia berjalan menghampiri laki-laki itu, ia salim kepada laki-laki itu.

"Sore, om." Sapa Mira lembut.

"Kamu pasti Mira." Mira menganggukkan kepalanya, "Saya masuk dulu ya, om."

Vivi masih berdiri di sana, Mira sudah berjalan meninggalkannya, bahkan ia bingung harus berbuat apa.

"Dek, udah pulang?" Tanya Shani, ia menoleh ke depan, menganggukkan kepalanya dan berjalan ke arah Shani.

"Kamu gak mau salim sama Ayah dulu?" Vivi menghentikan langkahnya, air matanya hendak jatuh saat ia mendengar suara lembut itu. Suara yang jarang sekali ia dengar.

Shani melepaskan tas ransel yang berada di punggung Vivi. Ia menepuk pelan pundak Vivi, lalu menganggukkan kepalanya. Tanpa ucapan pun Vivi tau jika Shani memintanya untuk duduk dan menemui ayahnya terlebih dahulu.

Setelah tas ransel itu berpindah tangan, Shani berjalan meninggalkannya. Ia memberi waktu kepada Vivi untuk berbicara berdua dengan ayahnya Vivi.

Vivi berjalan pelan, ia duduk di depan ayahnya. Wajahnya menunduk, ia tidak kuasa menatap wajah ayahnya.

"Gimana sekolah kamu, nak?" Vivi membulatkan matanya, kedua bola matanya berkaca-kaca, jika ia berkedip sekali pasti air matanya akan jatuh.

"Ayah minta maaf." Air mata Vivi menetes ketika ia mendengar permintaan maaf dari ayahnya. Sungguh, ia terlihat lemah kali ini.

Vivi bingung dengan skenario yang dituliskan untuknya. Kemarin Yona datang, dan sekarang ayahnya. Apa maksud semua ini? Sekilas beberapa kejadian kelam mulai kembali bermunculan di otaknya.

Tangannya mengusap air mata yang ada di pipinya, kemudian ia memberanikan diri untuk menatap wajah ayahnya. Ia benar-benar tidak sanggup.

"Kenapa baru pulang sekarang?" Tanya Vivi dengan suara bergetar.

"Ayah pikir kamu perlu waktu. Ayah juga sering kirim kamu surat dan uang, ya walaupun ayah tau kamu gak akan balas surat dari ayah."

"Aku gak butuh surat itu, aku gak butuh uang itu, aku gak butuh apa-apa." Vivi menekankan setiap kata yang keluar dari mulutnya. Air matanya kembali menetes. "Semua yang aku punya udah hilang. Semuanya."

Ayahnya terdiam, beliau tidak kuasa melihat anaknya menangis, hal ini mengingatkannya pada kejadian beberapa tahun yang lalu. Kejadian yang memaksanya pergi meninggalkan Vivi bersama Shani sendirian.

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang