Aruna mengikuti langkah Rigal yang menggenggam tangannya. Pulang sekolah, Rigal langsung mengajaknya ke rumah sakit. Setelah menjelaskan semuanya, Rigal ingin membuktikan satu hal pada Aruna.
Melihat keadaan di sekitarnya, membuat Aruna harus banyak banyak bersyukur. Masih di berikan kesehatan oleh sang pencipta.
Rigal tiba di ambang pintu kamar rawat inap seorang pasien yang ingin di kunjunginya, bersama Aruna. Mengetuknya pelan, hingga suara dari dalam mengintrupsinya untuk masuk.
Rigal memberikan senyuman tipisnya pada Vania yang tengah menyandarkan punggungnya. Aruna terkesiap, saat masuk tiba tiba genggaman erat dari tangan Rigal terlepas begitu saja. Ia tersenyum pada Vania, dan di balas oleh gadis itu pula.
"Hay," sapa Vania, pada Aruna. Ia menjulurkan tangannya, dan di terima langsung oleh Aruna.
"Vania?" Aruna menyebut nama gadis yang ada di hadapannya, Vania dengan cepat mengangguk. Aruna memperhatikan penampilan Vania yang sedang sakit, meski dalam keadaan pucat, aura kecantikan gadis itu masih terpancar dengan sendirinya.
"Kita satu sekolah, sama sama kelas dua belas, tapi jarang banget ngobrol," Vania terkekeh dengan ucapannya sendiri. Aruna hanya mengikuti alur, ia terkekeh pelan, masih canggung dengan keadaan sekitarnya.
"Iya, keadaan lo gimana?" tanya Aruna sedikit akrab. Rigal masih berdiri di samping Aruna, memperhatikan kedua gadis itu mengobrol dengan asik.
"Masih harus banyak banyak istrahat,"
"Demi kesembuhan lo juga,"
"Tumben lo kesini? Setahu gue, satu sekolah nggak ada yang tau gue disini. Mereka emang tau sih, kalo gue sakit,"
Aruna menoleh menatap Rigal, pria itu hanya berdehem pelan. Memperbaiki tubuhnya agar sedikit tegap.
"Dia yang ngomong," tutur Aruna. Tidak mungkin menceritakan yang sesungguhnya.
Vania hanya tersenyum sebagai bentuk balasan ucapan dari Aruna. Ia menoleh pada Rigal, menatap pria itu dengan lekat. Sementara Rigal, hanya menunduk memperhatikan tangan Aruna sedari tadi.
"Sayang?" panggil Vania dengan lembut.
Uhukkk...
Aruna tercekat dengan salivanya sendiri. Tiba tiba saja ruangan itu menjadi panas seketika. Rigal menoleh khawatir pada gadisnya. Namun enggan untuk membuka suara.
"Lo nggak apa-apa kan?" tanya Vania dengan sedikit khawatir yang melihat Aruna batuk berkepanjangan. "Lo duduk di sofa aja, disitu ada air. Minum aja," lanjut Vania.
Aruna memundurkan langkahnya, ia berjalan ke arah sofa. Memberi waktu pada Rigal untuk Vania. Namun hatinya sedikit perih mendengar panggilan tulus dari Vania untuk Rigal. Dirinya saja belum pernah melakukan hal itu.
"Sayang?" panggil Vania sekali lagi. Rigal yang tengah memperhatikan Aruna duduk di sofa, spontan langsung menoleh.
"Kenapa?" tanya Rigal dengan senyuman tipisnya. Vania mengambil tangan Rigal lalu menggenggamnya erat. Perempuan itu terlihat sepenuhnya bahagia.
Aruna yang tengah berada di sofa, memperhatikan kejadiaan itu, langsung mengambil sebuah buku dari tas sekolahnya, lalu mengipaskan pada wajahnya. Mengapa hari ini terasa panas sekali? Dan mengapa waktu berjalan lebih lambat rasanya?
"Tante sama Om mana?" tanya Rigal. Ia membiarkan tangannya di genggam oleh Vania. Tidak mengetahui bagaimana reaksi seorang gadis yang berada di belakangnya.
"Pulang. Barusan aja, aku kira kamu ketemu," senyum bahagia masih terpancar jelas di wajahnya. Rigal menjadi penyemangatnya untuk saat ini.
"Nggak. Makan?" tanya Rigal. Ia melihat sebuah mangkuk berisi bubur dan sayur sayurannya masih belum berkurang di atas nakas yang berada di samping ranjang tempat rawat Vania.
KAMU SEDANG MEMBACA
RIGAL [TAMAT]
Fiksi RemajaIni hanya cerita ringan. Kenapa ringan? Karena nggak berat. Author tidak bertanggung jawab atas kebaperan yang anda alami, jadi mohon siapkan obat sendiri. _________________________________________ Pacaran tanpa cinta? Itu yang di rasakan Aruna Gavi...