Chapter 9

494 91 3
                                    

Oria POV

Kami sampai di Kuil Dewa Kematian sekejap kilat. Emang enak kalau perginya bareng Hakon, tapi aku nggak senang sama sekali. Soalnya tempat ini dingin. Banyak batunya, banyak juga binatang melatanya.

"Seram amat, boleh balik?" Aku sembunyi di belakang Hakon, habis jalannya gelap berlubang-lubang. Takutnya jatuh lalu lecet-lecet.

"Baru juga sampai di depan gerbang." Hakon menggenggam tanganku, curigaan aku bakal kabur. Padahal mah aku anak baik, nggak bakal kabur kok. Kan nggak tahu jalan pulang.

"Hakon, Dewa di sini seram gak?" Aku nggak ingat pernah ke sini, jadi kayaknya memang tak pernah diajak.

Hakon terlihat berpikir sebentar. Dia mengusap kepalaku. "Nggak kok." Habis itu bohong deh. Aku nggak bego-bego amat kali. Itu ekspresi wajah udah memberitahukan segalanya. Pasti orang yang bakal kami temui bukan orang baik, makanya Hakon kalem begitu.

"Penjaga kuilnya apaan?" Aku makin waspada, curiga karena si penjaga nggak muncul-muncul bahkan setelah kami memasuki gerbang.

"Tak ada." Tak ada? Masa sih? Kuil lain ada kok.

"Memangnya mereka ke mana?" Aku mulai dempet-dempet ke Hakon. Rasanya ngeri, merinding tak jelas setiap kali melangkahkan kaki mendekati satu-satunya pintu yang terdapat di sini.

Tak ada kuil. Hanya ada batu-batu runcing membentuk tebing menjulang tinggi di sekitar kami. Sebuah pintu merah raksasa berdiri kokoh di tengah-tengah, tanpa penjagaan sama sekali.

"Mereka semua mati."

"Gyaaa! Sesuatu muncul, Hakon!"

Aku langsung melompat ke punggung Hakon, memeluk erat-erat gemetaran mendengar suara yang tak ada sosoknya. Hanya hawa dingin yang terasa di punggungku, bertiup seperti angin keluar dari kulkas.

"Itu hanya arwah manusia. Tak perlu teriak." Aku diturunkan dengan paksa. Hakon omongnya santai sekali. Dia tunjuk ke sekeliling, memperlihatkan padaku banyaknya hantu-hantu penasaran jalan-jalan nggak jelas di dekat gerbang. Mereka terlihat transparan, makanya aku tak sadar tadi.

"Mereka sudah mati, tapi terikat dengan dunia manusia karena masih ada penyesalan. Yang mati dengan tenang bisa langsung masuk ke dalam pintu dan berinkarnasi." Hakon kasih pelajaran dulu, kayak aku peduli aja. Mau mereka apa juga masa bodoh. Tetap saja sebutannya hantu.

"Ayo masuk." Habis itu, aku ditarik ke arah pintu merah itu.

Aku geleng kepala kuat-kuat, menahan berat tubuhku biar nggak dibawa masuk. Ogah banget dipaksa inkarnasi. Takutnya aku terlahir ke badan yang nggak imut.

"Oria, jangan begitu!" Hakon menarikku.

"Nggak mau! Di dalam sana seram!" Dia mengangkatku ke pundak setelahnya. Pintu merah pun terbuka, memaparkan sebuah jalan mirip gugus bintang. Gelap, tapi berkilauan sangat cantik. Aku terpukau, berhenti melawan.

"Tuan Anko berada di ujung jalan."

"Aku nggak mau peduli dan nggak mau ketemu." Tapi tetap saja yang namanya nggak mau ya tetap nggak mau, titik!

"Kita hanya mau memperbaharui catatan kematianmu. Kenapa kau banyak tingkah, Oria." Eh? Aku bukannya mau dilemparkan pada Dewa kematian lalu dipaksa inkarnasi ya?

"Bilang dong dari tadi! Kalau gitu aku bisa jalan sendiri!" Aku melompat turun, jalan dengan riang ingin segera menyelesaikan urusan nggak penting ini lalu balik ke kuil bersantai ria.

Hakon pasang tampang lelah, tapi aku yakin penyebabnya bukan karena aku. Memang rubah tua bangka gampang capek kok.

"Hati-hati jangan sampai jatuh ke lubang hitam, kau bisa terjebak di neraka." Um ... Hakon bilang apa tadi?

What Does Fox Want 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang