Hakon POV
Kami telah kembali ke kehidupan dan rutinitas kami yang seharusnya. Ujian Oria telah berakhir tanpa ia sadar. Namun tak banyak yang berubah, rubah kecil itu masih saja bermalas-malasan. Menggerutu betapa membosankannya permainan perjodohan Tolya dan Fuku.
"Hakon, emang nggak apa-apa nih? Kita langsung pergi gitu aja? Nggak balik jadi manusia lagi?" Keinginan Oria agak sulit kutebak. Kupikir dia yang paling enggan menyamar menjadi manusia, tapi sikapnya sekarang malah terlihat ingin kembali ke tempat itu.
"Kita ini bukan makhluk hidup, Oria. Semakin sedikit kontak kita dengan mereka akan semakin lebih baik. Ingatan mereka tentang kita telah dihapus oleh Tuan Sasage." Tak ada alasan untuk mengecek apa yang terjadi setelahnya. Apa yang dibutuhkan untuk mengikat benang jodoh adalah keterbukaan dan keinginan menerima pasangan satu sama lainnya. Tolya dan Fuku telah mendapatkannya. Benang merah mereka telah terikat erat saat kami pergi. Apa pun yang terjadi nantinya bukan sesuatu yang boleh kami campuri lagi.
"Berakhir gini aja? Kalau tahu gitu dari awal tulis papan jodoh aja."
"Kau masih tak mengerti rupanya. Menulis sejak awal dan saat ini akhirnya akan berbeda, tapi tak apa-apa. Kita punya waktu selamanya untuk mengajarimu pelan-pelan."
Oria menatapku dengan aneh saat aku mengatakan selamanya. Dia berjalan mendekatiku, duduk di sampingku menyandarkan punggungnya ke lenganku. Ekspresi wajahnya terlihat serius, tidak seperti ekspresi bodoh yang biasanya.
"Selamanya itu bohongkan? Biarpun kita abadi, tapi pasanganmu tetap bisa mati." Oria bicara tentang Rio, kan? Kenapa aku merasa seperti dia membicarakan orang lain? Dia tak pernah memanggil Rio pasanganku sebelumnya. Oria selalu memanggilnya nenek. Apa dia tahu soal – tidak. Itu tidak mungkin. Tuan Sasage tak suka membicarakan masa lalu dan rubah pemalas ini tidak bersosialisasi dengan penjaga kuil lain.
"Itu karena Rio jatuh cinta kepada manusia, tapi kamu jatuh cinta kepadaku. Jadi kita akan bersama selamanya." Mungkin aku hanya berpikir terlalu serius. Oria tak pernah menggunakan otaknya. Dia pasti hanya berbicara omong kosong seperti biasanya.
"Siapa yang jatuh cinta padamu! Dasar rubah busuk! Tukang tipu! Aku masih marah padamu!" Benar, inilah Oria yang biasanya. Tukang merajuk yang selalu mengamuk tak jelas hanya untuk mendapatkan perhatianku.
Dia memukuliku, mendorongku jatuh terlentang hanya untuk mencabuti rambutku. Jadi aku memeluknya erat-erat, menghentikan rontaannya dengan sebuah ciuman.
"Hentikan ... bodoh!" Oria berhenti memukuliku. Wajahnya memerah seperti orang bodoh, tak pernah berubah dan terbiasa mau berapa lama pun waktu berlalu.
"Malu-malu lagi. Kapan kau bisa jujur kalau kau senang disentuh seperti ini?" Aku hanya menyelipkan tanganku ke balik bajunya, meraba sedikit dan tubuhnya sudah begitu kaku, menegang merasakan sentuhanku.
"Dasar mesum! Aku nggak senang!" Pembohong kecil. Lihat berapa lama kau akan terus membantahnya.
Sekali lagi aku menciumnya, menyelipkan lidahku menggoda lidahnya. Di saat yang sama, kumasukkan tanganku ke celananya, meremas bongkahan bokong yang seksi. Oria mulai merutukiku di sela-sela ciuman. Bertindak kontras dengan reaksi tubuh yang menerimaku dengan pasrah.
"Kalian berdua benar-benar seenaknya. Aku hanya pergi sebentar dan kalian malah berbuat begini di depan kuilku." Oh, Tuan Sasage telah kembali rupanya. Aku tak sadar sama sekali saat beliau mendekat, tahu-tahu saja ia telah berada di depan kami. Bersedekap tak senang.
"Sayang sekali. Kita lanjutkan nanti saja, Oria." Terpaksa aku melepaskan Oria, memasang senyuman manis untuk menghargai tuanku.
"Nggak ada nanti! Rubah busuk bodoh! Huaaa!" Oria langsung berlari, berteriak menutupi rasa malunya. Betapa imutnya kekasihku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Does Fox Want 2 [END]
FantasyRatusan tahun telah berlalu, Sang Dewa telah kembali. Beliau meminta pembuktian kepada Oria, menjadi arwah rubah yang baik, atau diubah menjadi rubah liar. Ujian penuh misteri dan kekocakan untuk diakui sebagai arwah rubah yang sesungguhnya pun dim...