Hakon POV
Aku tidak bisa berhenti tersenyum. Cara Oria lari begitu lucu. Marahnya tak pernah serius dan reaksinya selalu menyenangkan untuk dilihat.
"Oria mengemaskan sekali," komentarku.
"Maksudmu menyebalkan dan menyusahkan?"
"Kau tak mengerti, itu semua bagian dari pesonanya."
"Membuat orang ingin memukulnya?"
"Aku jadi ingin memeluknya."
Aku dan Tolya saling tatap, tidak mengerti dari mana asal pemikiran itu satu sama lainnya. Tak peduli seberapa banyak kujabarkan kemanisan Oria, dia selalu melihat dari sudut pandang berbeda.
"Hatimu sangat buruk, tak bisa melihat sisi baik orang lain."
"Matamu yang buta, tapi bisa melihat keburukan si bodoh itu."
Kami tak pernah sependapat bila berbicara tentang Oria. Kupikir memberitahukan sejuta kebaikan Oria padanya juga percuma. Biar kualihkan pembicaraan, mengarahkan pada orang yang seharusnya dia perhatikan lebih baik.
Orang itu adalah Fuku yang tengah berusaha pergi diam-diam saat Tolya sibuk menghina Oria. Dia sudah bagus berpura-pura tak peduli. Biar kubantu memberikan kesempatan untuk lebih menyakiti Tolya.
"Fuku, mau ke mana?"
Fuku tersentak. Pria kecil itu berhenti berjalan, menoleh ke arah kami dengan gelagat yang begitu gelisah. Sama seperti Tolya yang berada di sampingku. Dia juga merasa tak nyaman harus berhadapan dengan Fuku setelah penolakan beberapa hari yang lalu. Terlebih setelah tadi dikagetkan oleh reaksi Fuku. Orang yang setiap hari menatapnya memuja, mengejar dan selalu ada untuknya ... kini berlaku sebaliknya.
"Pu-pulang ke asrama." Fuku gugupnya sama sekali tak bisa disembunyikan. Dia tak berani menatap Tolya karena takut lupa diri dan kembali bertingkah memuja. Reaksi polos itu mengganggu Tolya. Aku tahu itu.
Pria ini tak berkata apa-apa, tapi matanya yang tak bisa lepas dari sosok Fuku itu tak akan bisa menipuku. Dia kesal karena mengira Fuku serius memutuskan untuk tidak akan berharap padanya lagi. Seperti inilah yang disebut, ada di dekat tak terlihat, saat menjauh baru disadari keberadaannya.
"Kalau begitu pergilah ke kamarku, bujuk Oria untukku."
"Bujuk seperti apa?"
"Bicara yang baik-baik tentangku. Apa pun tak masalah, temani dia makan kue sampai rasa kesalnya hilang."
"Baiklah ... kalau begitu aku pergi dulu, Hakon."
"Hati-hati di jalan."
Aku suka bagaimana polosnya reaksi Fuku. Dia yang terbawa suasana, berbicara hanya denganku seakan Tolya tak ada di dekatnya sangat memuaskan. Lihatlah tampang kesal Tolya. Rasa muak melihat pengikut setia membuangnya setelah mendapatkan perlakuan buruk adalah reaksi yang sangat menarik.
"Kenapa marah? Dia tak akan mencintaimu selamanya setelah kau menolaknya tahu."
Akan kuingatkan padanya tentang hal ini, bahwa hati manusia bisa berubah jika tidak dihargai. Biarpun teori ini tidak berlaku untuk orang sebodoh Fuku, tapi tak masalah. Menakuti Tolya dengan berbagai dugaan negatif yang merupakan tujuanku sebenarnya.
"Siapa yang marah!"
Tolya membuang muka, berbalik arah kembali berjalan ke arah kelas. Aku mengikutinya dengan cepat, memastikan dia tak akan bisa mengakhiri pembicaraan ini dengan mudah.
"Kalau begitu kecewa?"
"Kau sangat sialan. Begitu senangnya menikmati masalah orang lain?"
Semakin dia terganggu, maka itu tandanya semakin besar juga rasa kecewa yang dia rasakan. Inilah yang kutunggu. Rasa sesal yang datang terlambat akan membuat ia sadar betapa bernilainya apa yang telah hilang.
"Jadi kau mengakui kalau diabaikan Fuku merupakan sebuah masalah?"
"Kau menyukainya, kan?"
"TUTUP MULUTMU!"
Aku menyeringai, karena bentakkan itu bisa berarti bila dugaanku tepat. Setelahnya aku melangkah pergi, bersenandung riang sengaja tidak memancing lebih jauh.
Tolya jadi diam. Pikirannya sekarang penuh akan kebingungan. Dia tak yakin lagi apakah membiarkan keadaan tetap seperti ini akan baik untuknya nanti. Pria ini tidak bodoh. Dia pasti telah sadar kalau rasa tak rela kehilangan itu memiliki arti penting.
Lagi pula jiwanya masih mencintai Fuku. Karena jika rasa itu sudah hilang, takdir tak akan terus memutar mereka di satu tempat. Mau disangkal seperti apa pun, cinta yang dibawa selama beberapa kali reinkarnasi terlalu kuat untuk dihapus.
"Kenapa kau diam?" Setelah melewati masa kebingungan sendirian, dia kembali menyerangku. Entah hanya ingin melepaskan rasa stres, atau berharap aku memberinya sebuah pencerahan.
Akan kuanggap dugaan kedua yang benar. Dan rubah comblang ini akan menunjukkan keahlian luar biasa dalam mengendalikan hati manusia.
"Kau ingin aku menyuruhmu mengejar Fuku?"
Tentu saja pengamatan adalah yang terpenting. Dan ekspresi frustrasi yang terpancar di wajahnya merupakan tanda-tanda dari usaha pencarian jawaban. Bila langsung kuberikan jawaban yang dia inginkan tak akan menarik. Biar kumainkan sedikit perasaannya dulu.
"Aku tak akan menyuruhmu. Aku membayarmu hanya untuk memberi Fuku kesempatan mendekatimu. Bila Fuku sendiri yang memutuskan untuk tidak mau mendekatimu lagi, maka kegunaanmu untukku sudah tak ada." Sekarang bagaimana? Apa dia terluka dengan kata-kataku?
"Jadi kau ingin bilang kalau kau akan berhenti membayarku?" Oh, tidak. Ini tidak baik. Tak ada gunanya kalau dia mendekati Fuku kembali dengan menjadikan uang sebagai alasan. Itu hanya akan memberinya alasan untuk tidak mengakui perasaan sesungguhnya.
"Tidak. Aku hanya bilang tugasmu selesai dan kau tetap akan kubayar. Setelahnya terserah Fuku. Tak perlu cemas akan biaya berobat ibumu. Aku akan tetap membayarnya sampai dia sembuh dan menghancurkan bisnis ayahmu seperti janjiku sebelumnya."
"Lalu di mana keuntunganmu? Fuku tak berakhir bahagia."
"Dia akan bahagia sendiri nanti, tapi dengan orang. Bagiku sendiri, membagikan sedikit uangku padamu tak ada artinya." Aku suka ini, peran menjadi pria jahat selalu menyenangkan.
Dengusan kasar yang kini keluar dari mulutnya. Kekesalannya pada Fuku telah terahlikan padaku. Dan yang tersisanya hanyalah hati yang gundah mempertanyakan arti dari rasa kehilangan kecil itu.
"Aku selalu benci orang kaya berhati busuk seperti mu!" umpat Tolya.
"Terima kasih pujiannya. Aku senang bermain denganmu, tapi sekarang aku sudah bosan. Coba kupikirkan ... Fuku itu agak bodoh, mungkin kupakai kesempatan ini untuk mencuci otaknya agar tertarik dengan orang lain." Kubalas dengan senyuman culas, pura-pura merencanakan siasat licik lain.
"Hentikan itu! Hati Fuku bukan mainanmu!"
Reaksi Tolya jadi lebih jujur. Dia mencengkeram kerah bajuku, melayangkan sebuah tinju ke arah kanan wajahku. Akan tetapi, aku bisa menangkap tinjuannya. Di saat yang sama, aku menggunakan lenganku yang lain untuk mendorongnya hingga cengkeraman itu terlepas dan dia jatuh terduduk di atas tanah.
"Jangan sok hebat di depanku. Kau tidak kalah busuk denganku. Berkacalah, siapa yang lebih banyak memainkan hati Fuku." Usai berkata demikian, aku pergi meninggalkannya, membiarkan dirinya memikirkan kembali apa saja yang dia lakukan pada Fuku.
Kesenangan hari ini usai. Saatnya pergi mengecek apa yang dilakukan Oria dengan stroberi-stroberi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Does Fox Want 2 [END]
FantasiRatusan tahun telah berlalu, Sang Dewa telah kembali. Beliau meminta pembuktian kepada Oria, menjadi arwah rubah yang baik, atau diubah menjadi rubah liar. Ujian penuh misteri dan kekocakan untuk diakui sebagai arwah rubah yang sesungguhnya pun dim...