Oria POV
Habis pulang dari panjat gunung sama Hakon, Tolya jadi emosian nggak jelas. Agak-agaknya habis ditipu-tipu sama gumpalan bulu licik itu. Tiap kali aku nggak sama Fuku, pasti Tolya menguntitku seakan sedang menunggu kesempatan memergokiku berubah menjadi lucu.
Sayang sekali, aku terlalu takut dikutuk sama Sasage. Jadi sampai misi pencomblangan mereka usai, aku akan bersabar dengan sosok hitam manis ini. Mumpung sudah berduaan, mungkin aku usaha promosikan Fuku aja. Kelamaan di dunia manusia juga bosan.
Aku berhenti bertingkah kayak korban penguntitan yang bego. Berbalik badan, berjalan menghampiri Tolya dengan jantan. "Ngapain sih ikuti aku ke mana-mana! Kalau mau cari Hakon jangan ikuti aku. Sana pulang ke asrama!" Hakon ada di kamar gitu, sedang sibuk menguji coba resep nasi jamur mana yang lebih sedap.
"Aku mencarimu," jawabnya. Begitu tegas, lengkap dengan tatapan menantang. Nggak ada sedikit pun rasa bersalah terpergok jadi penguntit. Memang dasar penjahat, semuanya nggak tahu diri.
"Cari aku buat apa? Tanya-tanya soal Fuku? Aku nggak tahu!" Aku sok-sokan marah, biar nggak terus diremehkan.
Tolya menarik tanganku, mendorongku hingga membentur pembatas jalan. "Katakan padaku, kenapa kau dan Hakon selalu berusaha menjodohkanku dengan Fuku. Aku tak tertarik dengan hubungan sesama lelaki, tak ada gunanya memaksakan kehendak kalian tanpa alasan yang jelas." Habis itu aku diinterogasi. Ternyata Tolya peka, hanya pura-pura nggak tahu. Ini nih menyebalkannya cowok satu ini.
"Cuma mau tolong teman kok, alasan gitu nggak cukup?" Jawabanku udah pintar dong, nggak bakal dicurigai sebagai gumpalan bulu lagi.
"Bohong. Sejak awal kedatangan kalian mencurigakan. Jujur saja padaku, kalian arwah rubah, kan? Apalagi yang kalian inginkan? Urusan dengan leluhurku belum selesai?" Aduh ... ternyata masih juga dicurigai. Memang susah kalau lawan bicaranya orang curigaan begini.
"Zaman modern begini masih percaya takhayul? Bego banget!" Aku mendengus, sok-sokan jadi manusia realistis yang nggak percaya takhayul. Pasang tampang mengejek hasil meniru Hakon.
Bam!
Tolya pukul besi pembatas jalan. Aksi ganasnya membuatku kaget, merasa takut padahal lawanku hanya manusia biasa.
"Kau pikir bisa menipuku dengan akting payah itu?" Apa boleh buat kalau aktingku buruk. Hatiku, kan putih polos nggak licik kayak dia.
"Bicara apa sih, aku nggak ngerti," balasku. Pura-pura bego, bertingkah kayak korban pemerasan di tengah jalan.
"Katakan tujuan kalian sebenarnya. Aku mungkin akan bersedia bekerja sama jika kalian mau mengabulkan permintaanku. Pertukaran lebih adil daripada bermain-main terus seperti ini, kan?" Mendadak Tolya mau membuat perjanjian denganku. Nggak tahu aja dia. Kalau yang namanya janji dengan siluman rubah tuh mengikat seumur hidup kayak kutukan gumpalan bulu.
Aku nggak maulah! Nanti Hakon marah padaku. Lalu aku sodomi tiga hari tiga malam. Terus bego-begoin aku, bilang kenapa sampai terpengaruh sama omongan manusia.
"Kau ngomong apa juga aku nggak ngerti. Kalau mau main tukar-tukar barang sama Hakon sana. Aku nggak punya apa-apa, hanya bergantung hidup sama Hakon." Mendingan aku lemparkan masalah sama Hakon, biar dia yang selesaikan mewakiliku.
"Cih! Aku salah berbicara denganmu. Kau memang seidiot yang tertulis di data riset." Tolya kurang ajar! Nggak mendapatkan maunya, dia menghinaku. Pergi dengan tampang sialan yang membuatku ingin melatih kekuatan kutukan gumpalan bulu dari Hakon untuk mengutuknya.
"Bicara saja semaumu! Kukutuk kau jadi homo, mohon-mohon cinta Fuku!" Omonganku hanya teriakan kosong kok. Aku nggak bisa mengutuk. Cuma berbesar mulut doang, tapi kayaknya Tolya mengira omonganku punya kekuatan siluman.
Dia berbalik tiba-tiba, berjalan cepat kembali ke tempatku dengan ekspresi wajah ngeri bercampur marah. "Apa yang kaulakukan padaku!" Sambil bentak-bentak padaku.
"Mengutukmu, bodoh!" Aku kabur dong. Tak lupa memeletkan lidah mengejeknya. Tolya mengejarku sih, tapi kecepatan siluman itu jauh melebihi kecepatan manusia. Akhirnya dia kehilangan jejakku dan aku pun jadi tersesat karena lari nggak lihat-lihat arah.
Aku hentak-hentak kaki emosi. Jalan nggak jelas ke sembarangan arah sambil berharap sampai ke tempat yang kukenali. Dan yang kutemukan bukan jalan pulang, melainkan gadis gulali masa kini.
Hampir saja aku lupa soal dia. Mungkin bagian dari rencana Sasage, kan bosku itu kadang suka diam-diam pakai kekuatannya dari dunia siluman. Siapa ya nama gadis gulali di masa kini? Aku mau panggil, tapi lupa namanya.
Malah dia jalan makin mendekat denganku, sedikit lagi bakal berpapasan. Masa aku biarkan saja? Lalu kapan lagi dong baru dapat kesempatan berkenalan?
"Daisuke! Sebelah sini!" Apa? Gadis gulali janjian sama Daisuke? Saking semangatnya mendengar teriakannya, aku sampai berputar badan 180° dan di saat itulah ... Daisuke melihatku.
"Teresa, kamu kenal dengan Oria?" Dia berjalan ke arah kami, dengan polosnya salah paham mengira kami barengan hanya karena gadis gulali berada tepat di sampingku.
"Oria!?" Giliran gadis gulali yang menoleh padaku. Pelototan matanya selalu mengintimidasi mau di zaman kapan pun. Aku jadi agak beku ditatap oleh mata besar itu, seakan ia bisa menggali isi pikiranku yang sebenarnya hampir selalu kosong.
"Iya, Oria. Siswa pindahan dari luar kota. Namanya mirip legenda kesukaanmu, kan? Tolya sampai terobsesi padanya karena kebetulan dia datang bersama dengan cowok lain bernama Hakon." Aku nggak tahu kenapa insting binatang berbuluku nggak nyaman dengan cara tatap si gembul Daisuke. Seharusnya dia hanya manusia polos biasa, tapi saat ini kombinasi kedua orang ini membawa rasa gelisah yang tak nyaman. Mungkin karena mereka inkarnasi dari orang yang dekat denganku di masa lalu. Jadi kuabaikan insting nggak penting itu, memutuskan untuk bermain pertemanan mereka demi membayar karma kesalahan diriku yang bego-bego polos di masa lalu.
"Ada Hakon juga ... kebetulan yang mengejutkan," kata gadis gulali.
"Hm ... hem ... banyak kebetulan di dunia ini tahu. Jangan kayak Tolya, tahunya memaksakan kehendak padaku." Aku mencoba berteman. Mumpung sudah terlanjut bertemu.
Pasangan itu saling tatap selama beberapa detik, lalu mereka tersenyum ramah menerima ajakanku. "Nggak kok. Aku tahu masa lalu dan saat ini sesuatu yang sangat berbeda," ujarnya.
Aku goyang kepala bingung, kurang paham kenapa balasan gadis gulali begitu. Daisuke yang di sampingnya masih si gembul baik hati yang biasanya. Dia bilang, " Mumpung sudah ketemu begitu, gimana kalau ikut makan bersama dengan kami?"
"Aku mau, tapi nggak punya uang." Kalau dibayarkan sih lain cerita.
"Biar kakak bayarkan. Oke?" Nah, gini dong! Gadis gulali selalu baik hati soal makanan. Mau di masa mana pun sama saja.
"Oke, aku akan ikut kalian makan ke mana saja." Aku ikut mereka dengan sukarela, membiarkan diriku disogok.
Eh, bukan. Maksudku aku mengikuti mereka demi menjalankan perintah Sasage. Mendekati target pelan-pelan, berteman dan menolong segala masalah cinta mereka hingga hidup bahagia selamanya.
Tadinya itu rencanaku, tapi entah kenapa ... aku malah berada di tempat yang tak seharusnya. Bukan tempat makan, melainkan rumah gadis gulali. Mereka menyekapku di dalam, mengunci semua pintu menutup jalan keluar yang ada.
"Mau apa kalian?" Rasanya aku seperti ditipu dan diculik. Tapi masa iya? Aku nggak sebego itu kok.
"Oria, yang namanya kebetulan itu tidak ada. Cara Dewa mengatur segalanya membuatku muak dan sekarang, kita lihat apa yang bisa kaulakukan untuk mengabulkan keinginanku." Dan kenapa mendadak tingkah gadis gulali jadi kayak antagonis di drama-drama itu ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
What Does Fox Want 2 [END]
FantasiRatusan tahun telah berlalu, Sang Dewa telah kembali. Beliau meminta pembuktian kepada Oria, menjadi arwah rubah yang baik, atau diubah menjadi rubah liar. Ujian penuh misteri dan kekocakan untuk diakui sebagai arwah rubah yang sesungguhnya pun dim...