Chapter 15

448 85 0
                                    

Oria POV

Akhirnya kami sungguhan pergi ke dunia manusia. Kota Rubah yang dulunya kampung sekali itu sudah jadi modern. Gedung-gedung tinggi ada di mana-mana. Kendaraan bertenaga surya terbang sana-sini. Jalannya juga luas, khusus pejalan kaki doang. Ada banyak taman dan toko jajanan enak. Anjing show banyak gaya berlarian dengan bulu dicat warna-warni.

Kumpulan gumpalan bulu oranye udah nggak kelihatan. Entah dipaksa pindah atau semua udah melarikan diri ke dunia siluman. Habis di kuil Sasage masih banyak gumpalan bulunya. Biasa mereka jadi temanku tangkap capung atau tidur siang.

Rasanya aneh banget jalan-jalan di sini. Baru juga beberapa ratus tahun berlalu, aku sudah merasa pergi ke tempat yang begitu asing. Hakon sih biasa saja. Dia masih lumayan sering ke dunia manusia.

Ceritanya sekarang kami sedang berkamuflase jadi anjing peliharaan Fuku. Entah orang percaya atau nggak masa bodoh. Yang penting bentukku imut, Hakon juga imut. Udah lama tak lihat sosok gumpalan bulunya, jadi aku agak senang jalan di belakang Hakon. Pantatnya masih aja montok, jalan lenggok-lenggok ingin sekali kutampar. Badannya agak besar sih. Nggak kayak badanku yang nggak tumbuh-tumbuh. Kecil terus.

"Di sini, ini rumahku," kata Fuku.

Cowok berbadan kecil, bertampang mirip cewek itu tunjuk-tunjuk gedung raksasa. Kayak-kayaknya sebuah apartemen.

"Ini asrama kampus," sambung Fuku.

Ternyata aku salah. Dulu mah asrama kampus nggak sebesar dan secanggih itu, jadi wajarlah aku salah tebak.

"Naiknya pakai apa?" Habis tak ada pintu utama, tak ada lift juga. Masa terbang sih? Kan manusia nggak punya kekuatan gumpalan bulu.

"Ehehe ... rubah terbang."

"KAU MAU NAIK AKU, ENAK SAJA!" Buluku bisa berantakan. Lagian badannya besar.

"Oria, diam. Kau sedang jadi anjing, dilarang bicara seperti manusia!" Hakon bukannya membela, dia malah memarahiku. Di sini sepi kok, aku mau teriak juga lihat situasi dulu.

"Aku nggak mau menggonggong!" Aku buang muka. Biarpun anjing dan rubah sesama gumpalan bulu, aku tak mau disamakan dengan anjing. Harga diri rubahku bisa tersinggung.

"Siapa yang suruh kau menggonggong. Aku menyuruhmu untuk diam."

"Udah ... udah ... kalian jangan bertengkar. Rubah terbang yang kumaksudkan yang itu." Aku baru diam setelah Fuku tunjuk wahana bentuk gumpalan bulu yang lucu. Rupanya itu sejenis alat transportasi yang bisa terbang. Gunanya mengangkut penghuni gedung ke atas. Dan ternyata kaca yang kukira jendela itu adalah pintunya. Gedung zaman sekarang nggak jendela gitu ceritanya.

Benda itu ada di semua gedung. Karena rubah masih menjadi maskot kota ini, jadi banyak sekali alat transportasi umum yang mengambil bentuk rubah. Di mana-mana oranye gitu.

"Kok nggak ada yang putih. Boleh jadikan aku contoh kok." Kalau ada karakter yang dibuat menyerupaiku kan bagus.

"Tentu saja tak ada. Rubah putih adalah bawahan Dewa, Tuan Sasage akan marah kalau manusia membuat alat dengan mengambil kita sebagai modelnya." Cih! Hakon yang jawab. Ternyata Sasage lagi biang keroknya.

"Gitu aja tersinggung." Aku mendengus kesal. Hakon balas pelototi aku dengan galak. Si Fuku jadi korban pertengkaran kami. Dia selalu saja gelagapan sendiri. Habis gumpalan bulu yang janjinya mau menolongnya kayak Hakon sih, bikin takut. Kasihan.

Udah ah! Malas mengoceh, kami pun langsung naik. Masuk ke kamar Fuku. Tempatnya imut, dihias serba biru langit. Bersih dan kayaknya nyaman. Ya ampun ... sampai ada sofa bulat super empuk. Begini sih aku betah tinggal di sini.

"Mulai sekarang sofa ini jadi tempat tidurku!" Pokoknya putuskan dulu, habis sofanya hanya ada satu. Nanti Hakon mau rebut lagi.

"Silakan, ambil saja." Untung Fuku baik hati, aku dielus-elus juga.

"Jangan dimanjakan. Kami tak butuh makan dan tidur. Daripada sibuk mengurus Oria, lebih baik kau kenalkan orang yang kau sukai pada kami." Hakon iri tuh. Mentang-mentang tak dapat tempat tidur bilangnya begitu.

"Ah ... Senior masih ada kelas. Biasanya hanya hari Sabtu dan Minggu baru bisa bertemu. Bagaimana kalau kita carikan tempat tidur untukmu? Di sini agak sempit, tapi akan buat senyaman mungkin." Aduh, Fuku terlalu baik sama Hakon. Gumpalan bulu nyebelin itu saja diperhatikan.

"Tak perlu. Sofanya besar, kami bisa tidur berdua. Bentuk rubah ini kecil, jadi tak perlu tempat yang luas." Udah tadi bilang tak butuh tidur, sekarang Hakon mau menjajah tempat tidurku.

"Nggak boleh! Ini tempatku sendiri! Aku nggak mau tidur denganmu!" Aku hentak-hentak kaki menolak. Nanti aku disodomi kalau terlalu dekat sama Hakon. Gumpalan bulu mau bentuk apa juga berbahaya.

"Mau kubelikan sofa baru saja?" Bagus! Fuku perhatian. Belikan aja sana. Jadi aku tak perlu tidur dengan Hakon.

"Ini sudah cukup." Hakon yang bebal. Sekarang dia sudah naik ke sofa itu, duduk bergulung bikin kesal. Aku saja belum naik, sudah direbut olehnya.

"GUMPALAN BULU SIALAN! KEMBALIKAN SOFAKU!" Aku meronta-ronta, emosi jiwa mau cakar Hakon. Tapi Fuku malah menangkapku, mengangkatku tinggi-tinggi menjauhkan dari Hakon.

"Tenanglah Oria! Jangan marah! Akan kubelikan sofa baru untukmu!"

"Sungguhan?" Mataku langsung berubah berbinar-binar, senang dapat tempat tidur baru.

"Jangan belikan. Kami adalah pasangan dan kami selalu tidur bersama." Detik berikutnya aku berdesis sinis, Hakon entah kenapa hari ini senang sekali merusak suasana hatiku.

"Aww! Ya ampun ... maaf ya, aku nggak peka. Oria jangan begitu, Hakon hanya mau dekat-dekat denganmu. Ayo duduk bersama, sofanya muat kok."

Fuku langsung berubah pikiran. Tampangnya sok maklum begitu. Dia turunkan aku ke samping Hakon, suruh kami berbagi tempat tidur. Aku langsung menggulung tubuhku, membelakangi Hakon. Soalnya aku ngambek sama mereka. Tak mau bicara lagi. Katanya sofa itu boleh untukku, sekarang malah disuruh berbagi sama Hakon.

What Does Fox Want 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang