Hakon POV
Sebulan setelah keputusan Tuan Sasage, kami berangkat ke dunia Dewa. Jalannya berada di tengah dunia arwah. Lebih tepatnya di sebuah pohon merambat di tengah-tengah dunia ini kami berada saat ini. Pohon yang merupakan penopang dunia di atas sana.
Oria ternganga, menatap pohon itu dari akar hingga ke puncak yang tak terlihat. "Awannya banyak! Terbang-terbang di sekitar pohon kacang." Komentarnya seperti biasa, hanya berupa kalimat sederhana seperti ocehan anak-anak.
"Turunkan awan itu, padatkan bentuknya dan kita bisa naik hingga ke puncak dengan menduduki awan-awan tersebut," jelasku. Kuharap Oria mengerti maksudnya, mengingat seberapa sederhana isi kepalanya itu.
"Hihihi ... awan empuk! Ke sini, turun-turun." Oria sungguh-sungguh mengertikan? Kenapa dia mengoceh sambil goyang ekor begitu? Aku cemas.
"Awannya turun ke sini! Cepat naik, Hakon! Aku mau guling-guling di atas awan!" Bagus awannya bisa diturunkan, tapi lebih baik aku mengecek kepadatannya lebih dulu. Akan buruk jika awannya hancur dan menjatuhkan kami dari atas.
Kutekan awannya, terasa lembut dan cukup padat. Sepertinya Tuan Sasage tak berhalusinasi. Oria memang bisa menggunakan kekuatan yang satu ini dengan baik. Dia masih berbentuk rubah, tetapi tidak terlihat kesulitan atau lelah saat memadatkan awannya. Aslinya kekuatannya memang besar, hanya malas dilatihnya saja.
"Mau pencet sampai kapan? Aku mau naik."
"Kita naik sekarang. Kenapa kau tak berubah wujud?"
Karena sepertinya aman, kami menaiki awan tersebut. Perlahannya awannya naik tanpa masalah, tetap padat terkontrol dengan baik. Namun aku masih cemas, akan lebih baik bila dia berbentuk arwah. Dengan begitu kekuatannya yang dikeluarkan juga akan lebih stabil.
"Tak mau. Aku mau pamer betapa lucunya potongan bulu baruku." Kami mau melakukan pemburuan harta, bukannya mau ikut kontes kecantikan. Siapa yang mau melihat sisi manis siangannya?
"Tekanan udara dunia di atas sana lebih berat, Oria. Sosok arwah membantumu menggunakan kekuatan lebih baik. Selain itu jika kau berbentuk binatang begini, lawan-lawanmu akan meremehkan dan menghinamu." Bukannya aku peduli apa yang orang-orang katakan pada Oria, aku hanya tak mau dia sakit hati dikata-katai.
Tak semua penjaga kuil berbaik hati. Kebanyakan dari mereka sangat peduli dengan kekuatan dan memperlakukan yang lemah seperti sampah. Tak bisa mengambil bentuk arwah di dunia Dewa dianggap tak berguna. Oria perlu tahu akan pandangan sosial dunia yang akan didatanginya nanti.
"Cuma orang iri kok. Masa bodoh yang penting aku lucu! Kau tak senang?" Reaksi yang mengemaskan. Tak ada rasa takut, hanya sikap santai seperti biasanya. Ketegangan dan kecemasanku terasa tak berarti. Rubah malas ini membuatku tertawa tanpa sadar.
Maksudku, saat penjaga kuil lain di sekitar kami mati-matian berkonsentrasi untuk mempertahankan kepadatan awan mereka, Oria malah berguling-guling dengan posisi senyaman mungkin di atas awan. Sisir kesayangannya dibawa, diberikan padaku minta disisirkan sebagai pengisi waktu luang sampai kami tiba ke tempat tujuan.
"Aku senang selama kau senang." Betapa manisnya senyuman Oria saat aku membelainya, membuatku betah dan lupa akan kenyataan bila masih ada satu jam hingga sampai ke atas.
"Si bodoh ini masih saja seperti itu, tapi aku kaget. Ternyata dia bisa membawamu naik di periode ini." Shi dan Aoi muncul di sisi kanan kami, sepertinya mereka naik tak lama setelah kami naik. Ular-ular itu bermulut tajam, tapi mereka merupakan pesaing yang jujur dan adil. Sekaligus pemenang di periode sebelumnya.
"Siapa yang kau panggil bodoh, reptil bau amis!" Oria langsung marah diejek, ia menunjuk Aoi dengan kaki depannya.
"Aoi sedang memujimu rubah liar!" Shi membalasnya dengan kasar, beradu mulut sama seperti setiap kali kami mereka bertemu.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Does Fox Want 2 [END]
FantasyRatusan tahun telah berlalu, Sang Dewa telah kembali. Beliau meminta pembuktian kepada Oria, menjadi arwah rubah yang baik, atau diubah menjadi rubah liar. Ujian penuh misteri dan kekocakan untuk diakui sebagai arwah rubah yang sesungguhnya pun dim...