Hakon POV
Sejak kembali dari Kuil Dewa Kematian, aku terus saja merasa penasaran. Aku ingin tahu apa yang benar-benar membuat Oria bisa kembali. Rasanya masih tak mau percaya, kalau semua itu hanya karena insting binatang liar kelaparan.
Dan sumber rasa pusing itu malah asyik berlarian di lapangan berumput. Sibuk tangkap capung mentang-mentang Tuan Sasage sedang keluar. Tawa super ceria itu membuatku kesal sendiri. Hanya aku yang memikirkan hubungan kami dengan serius. Sedangkan Oria hidup santai seakan tidak pernah memikirkan apa pun.
"Oria, kembali! Kita tak boleh membiarkan kuilnya kosong terlalu lama!" seruku memanggil.
Biarpun tak diawasi, kami tetap punya kewajiban menjaga kuil. Jalan-jalan keluar tak masalah, tapi tidak boleh terlalu lama apalagi jika tak ada urusan penting.
Menemani Oria jalan-jalan sore bukan urusan penting, itu hanya seperti mengawasi maskot kuil bermain. Tuan Sasage tak akan senang kalau aku terlalu sering membiarkannya bertingkah seperti ini.
"Pulang sendiri, tapi nanti balik lagi jemput aku." Tatapan mata berbinar itu sungguh curang. Bahkan dengan sosok rubah saja dia masih bisa membuat perasaanku seperti tengah dipermainkan.
"Tidak boleh. Kau juga masih harus menulis papan jodoh. Doa-doa yang masuk sudah bertumpuk." Sekali kutegasi sedikit saja mukanya sudah cemberut.
"Apaan sih, doa emang biasa balasannya lama. Kadang nggak dijawab. Biarkan aja." Badan kecil itu melengkung tak dengan imut. Mogok bergerak karena jam bermainnya kupotong. Ini Oria sudah hidup ratusan tahun, tapi rasa tanggung jawabnya tak tumbuh-tumbuh. Masih saja bertingkah lebih parah dari anak kecil.
"Jangan begitu. Kerjaanmu sudah sedikit jangan malah diabaikan lagi." Kucoba membujuknya, elus sedikit bulu kebanggaannya itu.
Oria buang muka. Rupanya bujukan tidak mempan padanya. "Dulu katanya aku nggak kerja juga nggak apa-apa. Dasar tukang tipu." Biasanya otaknya lambat. Sekali janji yang begitu saja ... ratusan tahun masih diingat dengan baik.
"Aku tak apa-apa, tapi Tuan Sasage akan marah. Kau mau dijadikan rubah hitam? Nggak mau, kan?" Harus bujuk pakai ancaman yang dia cemaskan. Kalau tak begitu Oria tak akan pernah mendengarkan. Heran deh, sejak kapan Oria jadi begini manja dan egoisnya. Dulu memang malas, tapi tak separah ini.
"Memangnya Sasage itu sungguhan bisa ubah bentukku?" Sekarang dia mulai sangsi akan kekuatan tuan kami, padahal tak ada yang perlu diragukan.
Bentuk rubah ini hanya wujud sementara, sesuatu yang bisa diubah begitu mudah. Lain hal dengan wujud arwah kami, sosok itu sudah permanen tak bisa diubah paksa. Sayangnya Oria tak suka sosok itu, padahal aku suka. Dia terlihat lebih cerdas dan seksi daripada aslinya.
"Tentu saja bisa, beliau Dewa," jawabku.
"Tiap hari hilang-hilang begitu, entah kerja atau nggak." Sekarang Oria mencurigai pekerjaan Tuan Sasage. Entah kenapa dia tak suka dengan tuan kami, padahal kurasa Tuan Sasage sudah sangat bertoleransi padanya. Dewa lain tak akan membiarkan penjaga kuil berbentuk binatang sepanjang waktu. Tidak bekerja dan berbicara kurang ajar sepertinya.
"Kalau tidak bekerja kuilnya akan runtuh. Dewa ada karena kepercayaan manusia. Jika mereka merasa kecewa dan tidak percaya lagi, kekuatan sang Dewa anak hilang." Aku sebenarnya sudah mengajarkan hal ini dulu, tapi sepertinya Oria lupa.
Dia pasang wajah terkejut, berteriak lantang. "Masa? Lalu kalau kekuatan Sasage hilang gimana? Nasibku gimana?" Pada akhirnya tetap hanya memikirkan diri sendiri.
"Jiwamu akan dibebaskan, kembali ke kuil Tuan Anko dan berinkarnasi. Jadi mulailah mengabulkan doa manusia, kalau kau abaikan terus kekuatanmu juga akan menghilang sedikit demi sedikit," terangku. Kuharap setelah ini Oria jadi agak rajin bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Does Fox Want 2 [END]
FantasyRatusan tahun telah berlalu, Sang Dewa telah kembali. Beliau meminta pembuktian kepada Oria, menjadi arwah rubah yang baik, atau diubah menjadi rubah liar. Ujian penuh misteri dan kekocakan untuk diakui sebagai arwah rubah yang sesungguhnya pun dim...