Oria POV
Setelah terus dicueki sama Fuku, Tolya mulai agak sering muncul di sekitar kami seakan tengah mencari perhatian. Aku sampai harus susah-payah meyakinkan Fuku kalau jual mahalnya nggak boleh setengah-setengah.
"Aku tak tega, Hakon ... Senior kelihatan murung waktu kuabaikan." Terus begini jadinya. Si cowok plin-plan muncul di kamar kami, menjadi langganan jasa curhat rubah comblang.
"Tunggu sebentar lagi, jangan mudah luluh."
"Dengar tuh, nanti Tolya jadi besar kepala!"
"Aku merasa jahat, kita hentikan saja ya?"
Pelanggannya kurang sabar, nggak tegaan dan cengeng. Sifat ini nih yang membuatnya selalu diremehkan.
"Lebih jahat Tolya kok. Biar tahu rasa dia." Aku jadi kesal, ingatkan Fuku pada berjuta keburukan Tolya. Tampang sok imut itu berubah murung. Akhirnya ingat betapa bejat cowok taksiran, tapi hati masih saja menjerit cinta padanya.
"Oria, makan saja sana. Jangan bicara yang tak perlu." Hakon jadi sensian padaku, senggol-senggol tanganku. Mencuri seluruh pekerjaan berasa saranku nggak berguna.
"Ya udah, curhatan aja berdua sana! Aku nggak mau tahu lagi!" Aku merajuk, pergi meninggalkan mereka berdua. Niat tulusku membantu tak dianggap, malah suruh aku makan terus berasa itu saja kegiatanku seharian.
***
Aku jalan-jalan di taman dekat kampus. Menikmati angin sepoi-sepoi dan sejuknya udara di dekat danau utama penghias taman. Di sini suara-suara doa para jomblo terdengar dengan jelas. Mungkin karena dekat dengan alam, makanya kekuatan siluman meningkat.
Di antara doa-doa yang masuk, terdengar suara yang tak asing. Kupingku yang nggak lucu bergerak-gerak, mencari asal suara doa itu. Berakhir sampai pada sebuah pohon besar di tepi danau.
Benar pendengaranku. Itu suara Tolya yang bejat. Akhirnya mau juga berdoa pada rubah comblang.
Saat aku tiba di sana, dia menoleh. Kemudian mendengus kecewa seakan melihat seorang pengganggu menyebalkan. "Untuk apa ke sini? Sana pergi." Lagaknya mau bergalau ria seorang diri.
"Hakon nggak ikut, dia sedang bikin kue bareng Fuku sambil bergosip. Nggak usah waspada begitu." Mungkin Tolya curiga kalau ada aku, pasti ada Hakon. Makanya dia nggak senang begitu. Kalau hanya aku sendiri sih semua orang juga dengan senang hati menyambut.
"Hakon mendekati Fuku?" Tatapannya itu lho, penuh akan rasa tak senang, curiga dan menghakimi.
"Bikin kue bareng, bukan mendekati. Hakon cintanya sama aku, nggak bakal naksir sama Fuku!" Terus sekarang berubah lelah, jengkel tak jelas.
"Bukan itu maksudku."
"Terus apa?"
Mendadak pertemuan kami jadi pembukaan jasa curhat rubah comblang. Aku yang baik hati pindah duduk di depannya, mendengarkan baik-baik seakan peduli. Sebenarnya sih masa bodoh, cuma apa boleh buat saja. Nanti aku nggak bisa balik ke dunia siluman kalau mereka nggak jadian.
"Apa Hakon mengenalkan seseorang pada Fuku?" Pertanda bagus nih! Tolya sudah mulai cemas Fuku pindah ke lain hati.
"Banyak, semuanya cowok-cowok baik dan pintar." Aku nggak bohong kok. Tadi pagi Hakon bawa aku dan Fuku ke pasar, kenalkan sama paman-paman baik hati yang jual bahan makanan. Mereka baik, mau bagi kami jajanan. Pintar promosi biar barang jualannya laku.
Tolya berdecak kesal, tak jelas alasannya kenapa. Masa sama paman penjual bahan kue saja cemburu?
"Oh iya, Fuku bilang dia akan ke sana lagi!" Setelah lolos kelas memasak bareng Hakon, dia mau jadi langganan toko itu. Niat sekali mau buat kue tiap hari untuk Tolya. Entah belajar dari siapa. Tahu-tahu saja Fuku berpikir kalau tugas seorang pacar itu memberi makan pacarnya dengan masakan dan kue rumahan.
"Hentikan Fuku. Jangan dibiarkan ketemuan dengan orang tak jelas!" Kok marah? Nggak senang karena takut masakan Fuku nggak enak ya?
"Fuku senang kok. Sampai tukaran kontak segala, masa aku seenaknya melarang." Suka-suka Fuku dong mau pergi beli sendiri atau pesan antar.
"Niatmu menjodohkan kami atau tidak tidak sih!" Tolya malah makin emosi, bahas soal penjodohan padahal kemarin-kemarin bilang nggak mau punya pacar cowok.
Dia mencengkeram bajuku, melakukan tindak kekerasan pada agen jasa curhat saat tak mendapatkan jawaban yang dia inginkan. Si agen, alias aku ikut emosi.
Kutepis tangannya, betulkan bajuku dengan penuh gaya. Terus berdiri, berkacak pinggang sebelah sambil tunjuk-tunjuk muka Tolya sok hebat.
"Dengar ya, aku tuh hanya mau membuat Fuku bahagia. Kalau nggak sama kau, sama yang lain nggak masalah. Kan kau yang menolaknya, jangan merasa kayak aku merebut Fuku dari mu dong!" Sudah kedengaran benar nggak? Kok rasanya ada yang salah ya? Ah ... sudahlah! Nggak usah pusing.
"Orang yang disukainya adalah aku, mana mungkin dia bahagia dengan orang lain!" Intinya Tolya ikut berdiri. Begitu terbawa emosi sampai mendeklarasikan diri seakan Fuku miliknya saja. Ini mah tanda-tanda suka, tapi malu-malu gumpalan bulu alias tsun-tsun dere-dere ngeselin minta digampar.
"Sok banget sih. Yang namanya suka tuh bisa hilang tahu. Iya kemarin dulu Fuku suka padamu. Sekarang masih suka? Pikirkan sendiri. Lihat saja sikap Fuku, melihatmu saja udah nggak sudi!"
Aku nggak jahat, oke? Tolya yang jahat. Omongan segini saja nggak akan melukai hatinya. Nggak akan – ugh. Susah jadi siluman. Mau menyiksa saja jadi nggak tega.
Orangnya di depan mata hanya menundukkan kepala dalam diam, tapi suara hatinya menjerit menggema masuk ke kuping rubah imajinerku. Aku, kan jadi kehilangan niat menindasnya. Habis isi hatinya cengeng sekali.
"Jangan nangis ya," ujarku menghibur. Batal berperan jadi ibu tiri jahat.
"Siapa yang menangis!" Kebaikanku malah dibalas bentakan kasar, lengkap dengan tatapan ala preman mau menantang.
"Jelas-jelas hatimu – maksudku kelihatan banget tuh sedihnya!"
"Jadi sekarang kau mau sok menghibur! Buat apa! Kalian yang mengenalkan Fuku dengan pria lain! Seenaknya memaksaku dekat dengannya, lalu senaknya mengganti calon pacarnya! Senang mempermainkan ku begitu!" Tolya mulai drama. Semuanya saja salahkan aku. Memang yang nama orang tak tahu diri itu ... dikasih permen minta kue.
"Memangnya kapan aku kenalkan Fuku dengan cowok lain? Nggak ada tuh!" Fuku setiap hari memoles diri biar jadi uke bening ber-skills tinggi dengan Hakon kok, mana sempat cari mangsa baru. Orang mangsa lama masih melekat di hati.
"Tadi kau yang bilang banyak!" Tadi? Tadi ....
"Ah! Maksudmu paman-paman di pasar? Hahaha! Cemburu sama paman pedagang. Putus asa sekali ya!" Perutku sakit. Ternyata Tolya bisa mendadak bego juga.
"Kau ... si idiot brengsek! Ternyata kau menipuku tadi!" Terus dia salahkan aku, bilangnya aku menipunya. Kepalaku dicengkeram dengan telapak tangan, ditekan keras sekali.
"Ow! Sakit bodoh!" Kucakar-cakar tangannya, terus memeletkan lidah mengejek saat dia mengaduh kesakitan.
"Galau saja sendirian sana! Jasa curhatku udah tutup!" Terus aku lari deh! Mau kembali ke kamar. Sudah tak sabar ingin cerita ke Fuku dan Hakon, biar kami tertawanya bisa barengan.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Does Fox Want 2 [END]
FantasyRatusan tahun telah berlalu, Sang Dewa telah kembali. Beliau meminta pembuktian kepada Oria, menjadi arwah rubah yang baik, atau diubah menjadi rubah liar. Ujian penuh misteri dan kekocakan untuk diakui sebagai arwah rubah yang sesungguhnya pun dim...