Oria POV
"Aaaaaah!" Aku teriak-teriak, jatuh bebas ke tempat yang tak jelas bentuknya apa, tapi pas jatuh, rasanya nggak sakit sama sekali.
Tempat yang awalnya gelap gulita berubah menjadi terang. Cahaya matahari yang terik menyeruak masuk ke dalam ruangan. Angin yang sejuk bertiup dari arah jendela. Tak lama, pintu terbuka. Seorang anak laki-laki bertampang menyebalkan yang familier datang dari sana.
"Ibu! Oria bangun!" Heh? Aku? Mana di mana?
Badanku tak ada, tak bisa disentuh atau pun dilihat. Bahkan tak tampak dari pantulan cermin yang ada di ruangan itu. Anak laki-laki itu pun berlari menabrakku, menembus seperti tak menyentuh apa pun.
Oria yang dimaksudkan bukan aku, tapi seorang bocah cebol jorok di dalam ranjang bayi. Ileran sambil emut tangannya. Entah sejak kapan ada di sana, menatap si anak laki-laki dengan tampang bego.
"Ibu mau pergi belanja, Akito. Kau jagalah adikmu!" Eh!? Ibuku yang galak muncul, tampangnya jauh lebih muda dari yang kuingat. Nggak terlihat galak atau seram dari yang terakhir kutemui.
Aku lantas terdiam, dadaku sakit dan sesak. Tak kusangka aku bisa melihat keluargaku lagi setelah ratusan tahun berlalu. Ini seperti yang Hakon lakukan padaku dulu. Membawa jiwaku mengulang masa lalu. Aku bisa melihat dan mendengar seakan berada di tempat yang sama, tapi aku tidak bisa menyentuh mereka.
Aku nggak tahu apa yang dipikirkan oleh Dewa Kematian itu, tapi yang jelas aku tidak masalah berada di sini. Sesuatu yang kukira telah hilang selamanya, ternyata masih bisa kutemui lagi.
Baru sekarang aku mengerti perasaan Hakon. Apa yang dia maksud dengan kesedihan karena berhubungan dengan manusia. Mereka mati dengan cepat, meninggalkanku sendirian. Hanya bisa berdiri terpaku melihat kenanganku sendiri dengan hati yang hancur.
"Heh ... tapi Oria bau, Bu. Ibu mandikan dulu, baru aku mau jaga." Abang kurang ajar! Kata-katanya menghancurkan rasa haruku. Lagi terharu, dia malah tunjuk-tunjuk mukaku dengan tampang sialan. Bilang aku yang imut itu bau.
"Kau benar. Popoknya mau diganti. Ini anak kok masih saja senyum-senyum kayak orang bego ya. Tak menangis atau teriak, mana kita tahu popoknya kotor." Ibuku juga gitu amat. Aku jadi anak baik malah dibilang bego. Harusnya terima kasih aku nggak cengeng dan menyusahkan!
"Kan, tampangnya kayak Ayah sih. Bego-bego naif. Entah otaknya berkembang atau nggak." Memangnya itu omongan anak umur empat tahun yang normal? Sudah kuduga. Abang Akito itu udah seperti setan sejak lahir.
"Perasaan waktu dalam perut biasa saja, kok lahirnya begini ya?" Ibuku malah setuju aja. Menghela napas sambil gantikan popokku. Tapi yang paling menjengkelkan tuh diriku yang imut-imut bego itu malah tertawa lebar padahal sedang dihina. Masih saja ileran gitu, membuat diriku yang sekarang geram setengah mati.
Marah kek, tendang mereka kek. Ini malah pamer gigi ompong saja kerjanya. Ingin rasanya aku protes, tapi pasti malah kayak orang gila nantinya. Habis suaraku nggak terdengar.
"Ya ampun, mulut kalian berdua itu selalu tajam ya. Jangan begitu ... Oria, kan masih kecil." Tak lama, Nenek muncul deh, membela diriku yang jorok itu dengan senyuman hangat di wajahnya.
"Tapi Nek, itu kenyataan. Tampangnya bego begini, belajar bicara atau merangkak aja malas. Tiap hari baring-baring dengan muka bengong di tempat tidur." Semua bayi hobi tidur kok! Masa bilangnya seakan aku doang yang kayak gitu. Memang abang durhaka.
"Bu, apa mungkin ini akan autis? Perlu kubawa ke dokter?" Ini lagi ibu durhaka! Tanya begitu pakai tampang serius bikin aku emosi saja. Jadi anak baik saja dituduh yang nggak-nggak!
KAMU SEDANG MEMBACA
What Does Fox Want 2 [END]
FantasyRatusan tahun telah berlalu, Sang Dewa telah kembali. Beliau meminta pembuktian kepada Oria, menjadi arwah rubah yang baik, atau diubah menjadi rubah liar. Ujian penuh misteri dan kekocakan untuk diakui sebagai arwah rubah yang sesungguhnya pun dim...