Hakon POV
Akhirnya kami tiba dengan selamat di gerbang dunia Dewa. Selalu ada penjaga di sana dan kami harus melapor sebelum masuk. Meja administrasi berada tepat di sisi kanan gerbang masuk. Diisi oleh seorang arwah manusia yang bertugas mendata.
"Kami dari Kuil Pernikahan," ujarku.
Penjaga mengangkat kepalanya, menatap kami dari ujung rambut hingga ujung kaki. Sorot matanya selalu datar dan kosong, tak bisa ditebak apa yang sedang ia nilai dari kami.
"Hakon dan siapa pasanganmu sekarang?" Sepertinya dia mengenali wajahku. Mungkin dari ingatan pendahulunya. Setahuku semua arwah penjaga dunia Dewa mewarisi ingatan dari dunia ini sendiri. Seperti kamera pengawas yang bisa menangkap seluruh kejadian tanpa batas.
"Namanya Oria," jawabku.
Penjaga mencatat. Ia bahkan menggambar Oria, sama persis seperti membuat replika. Gambarnya juga bisa keluar dari kertas, berubah menjadi patung awan yang melayang.
"Tuh lihat. Saking lucunya, aku digambar." Bodoh sekali perkataan pasanganku tercinta. Siapa yang menggambarnya karena rasa kagum. Itu hanya formalitas. Semua orang yang pertama kali naik ke dunia ini harus dirincikan dengan benar.
"Perlihatkan sosok arwahmu. Kami butuh data lebih rinci."
"Heh? Buat data? Patungnya bukan buat minta tanda tangan?"
Aku memalingkan muka, menutup wajah dengan tanganku. Aku tak ingin mengucapkan apa pun yang lebih mempermalukan Tuan Sasage. Pandangan penjaga itu tak nyaman, seperti ingin bertanya padaku hal bodoh apa yang sebenarnya diucapkan oleh pasanganku.
"Cepat berubah. Datanya hampir selesai dan masih ada yang mengantre di belakang." Karena kuabaikan, dia kembali berbicara dengan Oria.
"Iya, iya. Gambar yang benar. Sosok arwahku juga super ganteng." Kali ini penjaga ikut mengabaikan Oria. Dia menyelesaikan gambarnya segera, lalu mengusir kami meninggalkan meja administrasi.
Sejak itu, wajah Oria cemberut sekali. Dia berubah lagi menjadi rubah, tak puas dengan sosok arwahnya. Karena sosok rubah inilah, orang-orang melihati kami sepanjang jalan. Jenis pandangan yang meremehkan dan Oria masih tak sadar sama sekali.
"Kita mau ke mana?" Oria celingak-celinguk. Matanya terus mengawasi pohon-pohon buah yang bisa ditemukan sepanjang jalan. Gelagat ingin mencuri makan diam-diam.
"Kau akan dikutuk kalau berani memetik buah di dunia ini. Jaga tanganmu."
"Siapa yang mau petik! Fitnah!" Marah karena tebakanku benar. Kebiasaan yang mudah ditebak.
"Di sana tempat tujuan kita. Aula Dewa Langit." Kualihkan perhatiannya pada sebuah gedung megah di pusat dunia. Sebuah bangunan terbuka terbuat dari emas yang berhias batu giok. Bagian terluar dari Kuil Langit, satu-satunya kuil yang keberadaannya berada di dunia Dewa.
"Si-silau banget." Mata Oria langsung tertutup, tak terbiasa pada bias cahaya yang datang dari kuil tersebut. Pantulan kekuatan agung yang menjadi inti dunia ini. Bukan silau dari emas seperti yang Oria pikirkan.
"Semua Dewa berada di sana, duduk menunggu penjaga kuil mereka datang. Kita akan berkumpul lebih dulu dan ketika semua peserta telah tiba, permainan akan langsung dimulai." Selalu seperti itu, terburu-buru karena sudah tak sabar ingin melihat tontonan menarik.
"Cepat banget! Jalan-jalannya gimana?" Pastinya hanya Oria yang berpikir bisa berwisata lebih dulu sebelum memulai perburuan. Dia belum mengerti, bila hanya pemenang yang berhak bersenang-senang di sini. Penjaga kuil lain merasa takut. Karena bila kalah, bukan hanya martabat kuil yang direndahkan, tetapi kehidupan mereka juga menjadi taruhannya.
Tuan Sasage tak akan melakukan apa pun bila kami kalah, tetapi beberapa kuil memiliki peraturan tersendiri. Banyak penjaga kuil yang dipecat setelah permainan ini berakhir. Atau setidaknya mereka akan dihukum cukup berat untuk beberapa ribu tahun.
"Setelah permainan berakhir. Hanya sebentar kok." Sebentar bagiku jelas berbeda dengan sebentar bagi Oria, tapi tak masalah. Si bodoh itu tak akan sadar.
"Ya udah. Janji ya, nanti ajak aku jalan-jalan." Aku tidak mau berjanji karena tidak ingin mengingkarinya.
"Kita menangkan lebih dulu. Oke?"
"Janji dulu. Kita akan kembali bersama, jalan-jalan dan hidup bersama selamanya." Kuralat ucapanku. Sorot mata ini bukanlah dipenuhi harapan ingin bersenang-senang. Oria memahami kecemasanku. Dia tahu bila ada kemungkinan salah satu dari kami mati di permainan ini. Rubah malas ini hanya menahan diri, bersikap seperti biasanya demi aku. Tuan Sasage bertindak di belakangku lagi. Dia pasti telah memberitahukan banyak hal pada Oria saat kami menjaga jarak karena Oria ingin latihan sendirian sebelumnya.
"Aku berjanji." Benar-benar berjanji dari dalam hatiku. Karena ketulusan Oria memberiku harapan, membuatku membuang jauh-jauh pemikiran akan kemungkinan kalah.
"Gitu dong! Jadi gumpalan bulu sombong jangan tanggung-tanggung." Aku terharu. Ingin memeluknya dengan erat hingga melupakan semua yang menggangguku, tapi perasaan ini tak sampai pada Oria. Dunianya yang kecil dan sederhana tak memahaminya betapa kelitnya cintaku padanya.
***
Selang beberapa waktu, seluruh peserta telah berkumpul. Ada enam belas pasangan penjaga kuil. Jumlah yang sudah cukup banyak bagiku, tetapi bagi Oria ini terlalu sedikit.
"Hanya segini? Kan Dewa-nya ada banyak." Wajahnya terlihat bodoh, menunjuk pada ratusan kursi yang tengah melayang mengelilingi seluruh peserta. Jumlah Dewa yang ada memang ratusan, tapi syarat untuk mengikuti permainan ini membuat pesertanya tak pernah melebihi dua puluh pasang.
"Kekuatan untuk naik ke dunia ini langka, Oria. Tidak semua kuil bisa ikut." Mau berapa kali dikasih tahu baru Oria mengerti? Tuan Sasage sudah mengatakannya pada kami waktu itu.
"Oh ... aku mengerti. Aku memang gumpalan bulu emas." Lupakan saja. Biarkan saja dia berpikir begitu. Menyenangkan diri sendiri dengan sugesti positif. Kata lainnya terlalu narsis.
"Perburuan Harta Karun Dewa ke-15 telah dibuka! Dari sekarang hingga sebulan ke depan, kalian akan dikirim ke dunia buatan. Tema permainan periode kali ini adalah Battle Royale!" Dari semua tema yang ada, kenapa malah Battle Royale? Ini adalah tema dari periode pertama. Periode di mana paling banyak korban kematian selama permainan.
Periode kedua hingga kesepuluh tidak sulit. Hanya seperti lomba hiburan, bersaing strategi atau mencari benda tersembunyi. Setelahnya aku tak ikut, jadi tak tahu tema apa yang diangkat. Inilah sisi buruknya permainan ini, tak ada yang tahu temanya sampai detik terakhir permainan dimulai.
"Peraturannya sederhana. Setiap pasangan akan diberi satu harta yang harus kalian lindungi dan perebutkan satu sama lainnya. Siapa pun yang kehilangan pasangannya, kehabisan kekuatan arwah atau menyerah selama waktu masih tersisa otomatis akan dikirim kembali ke sini dan dinyatakan kalah. Setelah satu bulan berlalu, setiap pasangan yang tersisa akan dinyatakan sebagai pemenang dan bisa membawa pulang semua harta yang berhasil direbut."
"Bagus dong. Nggak usah berantem. Semuanya bawa pulang harta masing-masing," komentar Oria.
Aku memijit keningku lelah. Oria masih tak paham setelah mendengarkan peraturan itu. Katanya saja yang setiap pasangan, tapi kenyataannya pasti hanya akan ada satu pasangan yang tersisa. Memangnya siapa yang akan diam saja tanpa melakukan apa pun saat mereka punya kesempatan untuk mendapatkan enam belas harta sekaligus? Harta Dewa bukan barang biasa. Satu saja memiliki kekuatan untuk mengguncang dunia. Pastilah semua orang mengingikan sebanyak yang bisa mereka dapatkan.
"Jangan bodoh, Oria. Semua orang di sini adalah musuhmu. Camkan itu bila ingin menang." Aku menekan kepala Oria kuat-kuat agar otaknya yang suka tidur itu bangun sebentar dan melihat sekeliling kami. Tak ada satu pun wajah ramah ingin berteman, semua orang ingin menjadi pemenang mutlak.
Harta selalu menjadi alasan kuat untuk saling membunuh. Inilah kenyataan, sesuatu yang dianggap permainan oleh orang-orang yang tidak mengerti apa itu kematian karena mereka terlahir dari doa manusia dan hidup abadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Does Fox Want 2 [END]
Viễn tưởngRatusan tahun telah berlalu, Sang Dewa telah kembali. Beliau meminta pembuktian kepada Oria, menjadi arwah rubah yang baik, atau diubah menjadi rubah liar. Ujian penuh misteri dan kekocakan untuk diakui sebagai arwah rubah yang sesungguhnya pun dim...