Chapter 21

443 79 17
                                    

Oria POV

Aku lagi mengintip di tikungan, menanti saat yang tepat untuk membuat tabrakan mendebarkan. Fuku ada di belakangku dari tadi, lihati ekorku yang lucu dengan tatapan memesona.

"Oria, mau sampai kapan mematung di sini? Katanya mau pergi beli stroberi." Ehehe ... aku bohong. Yang benar dia sedang mencoba membujukku biar mau jalan. Habis aku tak mau bergerak dari tadi. Lagi sibuk tunggu Daisuke lewat. Rencananya aku mau pakai kekuatan siluman buat dorong Fuku pas Daisuke lewat. Jadinya mereka tak sengaja pelukan terus muncul deh debaran-debaran bernuansa pink membuat hati cenat-cenut ingin dicium.

Suara langkah kaki berat terdengar, tampak-tampaknya Daisuke sudah lewat. Aku pun segera berbalik, menggunakan anginku mengembuskan Fuku tepat ke arah asal suara.

"Huaaa! Oria apa yang kaulakukan padaku!" Aku buang muka, siul-siul merasa tak berdosa saat Fuku teriak terdorong tiba-tiba.

"Kau baik-baik saja? Apa yang rubah itu lakukan padamu?"

"Se-Senior Tolya. Nggak apa-apa kok."

Wuapaaa? Kok jadi Tolya yang muncul. Sekarang si Fuku senang tuh, pipi merona habis singgah di dada Tolya. Si gembul yang jadi sasaranku ada di belakang Tolya, jalannya lambat sambil makan ubi bakar.

Aku kesalll! Apalagi saat muka sialan Tolya bertemu pandang denganku. "Kalian sedang apa diam-diam saling tatap di jalan. Mau ubi?" Ditambah Daisuke bukannya cemburu, malah tawarkan ubi bakar!

"Nggak deh, makasih." Iya, siapa juga yang mau makan ubi bakar siang hari panas-panas begini.

"Aku mau satu. Buat Oria satu juga ya?" Fuku doang yang mau. Pakai minta untukku segala.

"Rubah siluman begini tak usah diberikan makan Fuku." Aku yang lucu dibilang siluman? Memang minta dikutuk si Tolya.

"Jangan begitu Tolya, anjing juga makan ubi. Ini Oria, makanlah. Rasanya manis dan masih hangat." Sekarang dibilang anjing tukang makan ubi? Aku kesal, tapi rasa ubinya enak. Berlumur madu.

"Lihat, Oria makannya lahap sekali," kata Daisuke. Fitnah dia. Aku hanya cicip sedikit kok, dibilang makannya lahap. Makanan kalau dikasih tuh nggak boleh menolak.

"Hah ... rubah ini sudah rakus, tak berguna lagi. Mana Hakon? Kenapa yang kelihatan yang ini terus?"

"Senior jangan bicara begitu sama Oria."

Makan sedikit saja Tolya bilang aku rakus. Cih! Rasakan pembalasan gumpalan bulu! Aku langsung melompat kayak tupai terbang, tendang mukanya dengan kedua kaki sekaligus.

"Eist. Siapa yang mau kau serang rubah gendut." Arghhh! Kakiku ditangkap, lalu aku diayun-ayunkan dengan kepala di bawah.

"Hentikan Senior! Nanti Senior dikutuk oleh Dewa!" Tapi teriakan Fuku lebih nyaring. Percaya kalau Sasage bakal bersedia mengutuk manusia untuk membelaku. Aku tak kasih tahu dia, kalau bosku itu lebih mau mengutukku jadi gumpalan bulu hitam daripada mengutuk si penindas Tolya.

Akhirnya demi tak dikutuk, aku digendong oleh Daisuke. Si Tolya dan Fuku jalan di depan, asyik mengobrol sok akrab. Kebanyakan Tolya tanya soal Hakon dan si Fuku masih saja mau menjawab tak sadar sedang dimanfaatkan.

Mereka mau pulang ke asrama saja lama sekali, bertele-tele dulu. Singgah duduk di taman, makan burger nggak ajak-ajak dan aku malah disuruh main lempar bola karet dengan Daisuke.

"Oria, sini bolanya. Biar kulemparkan untukmu." Saking emosinya, karetnya aku gigit dengan buas. Tak mau kembalikan waktu Daisuke meminta padaku.

"Daisuke, kau sedang apa?" Aku mengangkat kepalaku saat mendengar sebuah suara yang familier. Asalnya dari seorang cewek di belakang Daisuke.

"Gadis gulali!" Tanpa sadar aku berbicara. Terkaget begitu melihat betapa miripnya dia dengan gadis gulali. Aku lupa ... manusia bisa berinkarnasi dan kemungkinan besar dia adalah inkarnasi gadis gulali. Bukan yang aslinya.

Sekarang Daisuke menatapku begitu horor, dia sampai terduduk mundur beberapa langkah. "Fuku! Anjingmu berbicara!" teriak Daisuke.

Aku sudah berkeringat dingin, takut-takut bakal dikutuk Sasage karena identitasku ketahuan oleh lebih banyak manusia. "Oria? Tolya! Legendanya benar! Rubah putihnya sungguh ada!" Dan si titisan gadis gulali menambah rasa takutku.

Tolya datang cepat-cepat. Menyeringai dengan muka sialan seakan baru saja memenangkan taruhan. "Apa kubilang dari kemarin. Rubah gendut ini memang peliharaan Dewa. Tak mau percaya sih." Dia bersenang-senang memojokkanku.

Aku bingung sekarang. Mau kabur, tapi nanti makin runyam kalau sampai membuka pintu ke dunia siluman. Kalau diam di sini, diinterogasinya gimana?

Aku tatap Fuku memelas, minta dibela. Memaksakan keadaan bilang aku anjing kayak biasanya. Namun, Fuku malah lebih panik lagi. Tak tahu harus bagaimana, sama begonya denganku.

***

Akhir cerita, aku dibawa ke sebuah rumah dekat taman. Rumah gadis gulali bernama Teresa yang ternyata kakaknya Tolya. Kakak dan adik mengesalkan yang kini mencoba membuatku memanggil Hakon ke sini.

DaiFuku nggak berguna. Mereka duduk jauh dari ku, tak ada niat menolong seakan aku bisa melakukan sesuatu sendirian.

"Lihat! Ini altarmu! Kami masih menyimpannya dari ratusan tahun lalu." Altar Hakon dan Nenek dikeluarkan. Terlihat kuno, tapi terawat dengan baik. Bilangnya itu punyaku, berasa altar itu bisa mengubah keadaan.

Aku menggulung jadi gumpalan bulu bisu. Tak mau bicara takut salah omong. Dan Teresa masih saja menggangguku. Guncang-guncang tubuhku yang mungil dengan kasar.

"Oria, panggilkan Dewa kemari. Aku ingin memohon sesuatu padanya. Mau ya?" Bujuk-bujuk berasa aku bisa memanggil Sasage. Yang bisa pakai siluman mail cuma Hakon tahu!

"Biarkan saja dia, Kak. Oria tak berguna. Kita harus menangkap Hakon kalau ingin diajak ke Kuil Dewa Pernikahan." Errr ... aku mau diam. Mau mogok bicara, tapi Tolya terlalu ngeselin!

"BERISIK! MAU INI MAU ITU! KALIAN KIRA PANGGIL DEWA ITU GAMPANG! JANGAN EGOIS. LAGIAN MAU MINTA APA? HARTA? SANA KE KUIL DEWA KEMAKMURAN. YANG JAGA BABI EMAS. RUBAH COMBLANG HANYA BISA MENGIKAT JODOH!" Aku jadi teriak-teriak sampai ngos-ngosan, lupa berakting jadi anak anjing.

Mungkin karena suaraku terlalu keras, kakak beradik setan itu terdiam. Eh? Atau bukan ya? Soalnya waktu seperti berhenti. Jam dinding juga tak bergerak. Lalu ... pintu dunia siluman terbuka. Memunculkan sosok Sasage yang murka.

"Rubah show satu ini ... aku sampai tak tahu harus berkata apa padamu! Disuruh menjodohkan satu orang saja tak becus!" Habis itu aku kena tangkap, ekorku diremas-remas dengan emosi.

"Maafkan aku! Nggak sengaja kok! Hakooon tolong!" Hakon nggak tolong. Dia sok sibuk jalan ke sana ke sini, sentuh kepala keempat orang itu satu per satu. Ceritanya sedang menyusun ulang ingatan mereka.

"Oria, ayo kembali. Kita ulangi dari awal," kata Hakon kemudian.

Aku bingung. Maksudnya apa? Mengulang waktu? Emang bisa?

"Ingat, ini kesempatan terakhir, Hakon. Kalau mengacau lagi, aku tak akan datang menolong."

"Aku mengerti. Berikutnya akan kuawasi di sisinya Oria sampai dia lulus."

Sasage juga bicara apa dengan Hakon? Apa yang perlu diluluskan? Adakah yang bisa menjawab kebingunganku?

"Kalian bicara apa? Nggak apa-apa nih kita kembali aja begini?" Tak adakah yang mau menjawab pertanyaanku yang tulus ini? Hakon kok ikutan emosian kayak Sasage ya? Seret aku ke dunia siluman tanpa berkata-kata. Kalau sudah begini siapa yang akan menolongku?

What Does Fox Want 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang