Chapter 32

440 78 21
                                    

Oria POV

Akhirnya aku sungguhan tidur dengan Hakon. Malah selimutnya hanya ada satu ... entah apa yang akan terjadi kalau aku masuk ke sana. Demi keselamatan jiwa, aku tidurnya tepi-tepi sekali, sejauh mungkin dari tangan Hakon. Di hadapanku ada Fuku yang membatu tak bisa tidur.

Tadi maksa mau sama Tolya, sekarang malu-malu gumpalan bulu dengan muka merah padam. Tolya sih masa bodoh. Dia sudah tidur pulas kayak kerbau, merusak pemandangan padahal lampunya mati.

Mata silumanku saja yang berfungsi di saat gelap, jadi bisa melihat yang terjadi di ruang ini. Dalam hati Fuku terus berdoa mengharapkan disergap Tolya kayak sudah frustrasi, kegatalan, tapi masih mau sok manis.

Bicara soal doa, kok aku nggak pernah mendengar doa Tolya ya? Apa karena dia tak pernah berdoa minta jodoh? Atau memang hatinya sudah menghitam sampai tak percaya pada keajaiban doa?

Karena penasaran, aku memutuskan untuk bertanya pada ahlinya, si siluman rubah comblang. Kemudian aku berbalik, berhadapan dengan tampang mesum Hakon.

"Apa? Mau kupeluk, kemari," ujarnya kurang ajar. Seenaknya berpikir aku mau manja-manjaan kayak Fuku. Hakon buka selimut, tepuk-tepuk kasut di dekatnya seakan aku mau geser ke sana.

"Nggak, makasih! Aku mau tanya sesuatu nih." Aku nggak mendekat, bicara berbisik dari jauh. Telinga siluman Hakon bisa dengar kok, tak perlu mendekat atau mengeraskan suara.

"Kau mau kucium? Atau melakukan sesuatu yang menyenangkan diam-diam?" Dia juga gerak cepat. Belum apa-apa sudah berpindah ke atasku, menindih dengan niat mesum.

Aku menelan ludah, geleng-geleng kepala merasa terlecehkan. Mau kabur, tapi tangan gesit Hakon sudah lebih dulu menarikku ke dalam selimutnya. Dia menutup tubuh kami sepenuhnya, membuat rasa curigaku makin menjadi.

"Na-nanti dilihat Fuku gimana?"

"Kamarnya gelap, manusia tak akan bisa melihat."

"Tetap nggak mau!" Hakon pembohong! Mau segelap apa juga tetap ada cahaya yang masuk dari celah pintu. Tak mungkin Fuku tak sadar tiba-tiba saja ada gumpalan selimut di depan matanya.

"Oria, tenanglah." Aku nggak tenang, terus meronta-ronta. Hingga akhirnya Hakon menyerah, dia pasrah, cukup memeluk pinggangku saja.

Saat aku mulai merasa lega, mataku bertemu pandang dengan mata Fuku. Cowok itu melotot, lalu tertawa kecil agak malu-malu, membuatku sadar kalau dia mulai berpikir yang tidak-tidak melihat pergulatanku dengan Hakon di dalam selimut.

"Aku juga mau," ujar Fuku pelan.

"Mau apa! Kami nggak ngapa-ngapain!" Aku emosi, menyangkal dengan serius. Sedangkan Hakon sok-sokan bisu, memeluk makin erat, tempelkan kepalanya ke leherku super mengganggu.

"Kau juga, ngapain menempel begini!" Karena Fuku tak mau mendengarkan pembelaanku, aku dorong kepala Hakon menjauh, mencoba meloloskan diri.

"Hari ini dingin sekali, biar kuhangatkan tubuhmu, Oria."

"Rubah busuk! Dingin apa, ini di tengah musim panas!"

"Kalian berdua bisa diam? Aku mau tidur."

Aku tersentak kaget saat mendengar suara Tolya. Dengan takut-takut menoleh ke samping, cemas kalau dia mulai curiga lagi setelah mendengarku menyebut Hakon rubah.

Fuih! Rasanya lega sekali. Tolya kembali tidur begitu aku diam. Sepertinya tadi hanya sedang melindur.

"O-Oriaaa ... gimana dong?" Fuku deh yang cemas-cemas gelisah karena dipeluk oleh Tolya yang setengah tertidur. Disalahpahami sebagai bantal, tapi tingkahnya berasa dipeluk karena suka. Dasar cowok lagi di mabuk cinta ya begitu. Tadi doa dalam hati mengharapkan momen romantis, sekali dapat sok-sokan tak mau. Gengsi itu mah namanya.

Aku tersenyum, kasih jempolku padanya. "Itu maumu, kan? Silakan dinikmati." Aku mau tidur yang nyaman, tak mau pusing apa yang terjadi di ranjang sebelah. Pura-pura tuli dari rengekan Fuku, berbalik badan berniat menutup mata dan aku pun tersadar. Di sampingku ada si rubah busuk yang mencari kesempatan, tengah menyeringai cabul menungguku datang ke pelukannya.

"Tidur biasa aja ya?" Terpaksa aku memohon, tak mau mengalami pengalaman baru yang membuatku malu di esok pagi.

"Silakan dinikmati, Oria." Hakon lempar perkataanku pada Fuku kembali padaku, pakai nada nakal. Berbisik di telingaku, kemudian menjilatnya membuat geli-geli terkutuk!

Entah sejak kapan, aku telah kembali ke dalam pelukannya. Terasa panas dan sesak, tanpa jalan keluar dari segala godaan ini hingga pagi menjelang.

***

Pagi yang harusnya menyenangkan jadi terasa muram. Pasangan calon jodoh itu menjaga jarak. Masih belum pulih dari drama satu jam yang lalu. Ketika Tolya terbangun sambil memeluk Fuku. Dan Fuku sendiri masih malu-malu gumpalan bulu.

Berkali-kali mereka saling lirik, lalu buang muka, pura-pura makan. Aku dan Hakon duduk di depan mereka, melihat perkembangan konyol ini dengan malasnya.

"Aku minta maaf, kupikir kau bantal." Heh, tumben Tolya bisa minta maaf. Caranya nggak banget sih. Minta maaf, tapi membuang muka. Tutup wajahnya dengan tangan sambil ngintip-ngintip ke samping kayak aku dan Hakon yang asyik mengintip mereka.

"Nggak apa-apa kok." Fuku seperti biasa gampang luluh. Kan dia juga senang, saking senangnya tak bisa tidur semalaman. Matanya merah, sedikit sembab.

"Matamu merah, kurang tidur? Gara-gara kupeluk?" Ya iyalah, ngapain pakai tanya segala.

"Nggak kok. Itu Oria dan Hakon gerak-gerak mencurigakan terus, jadinya aku susah menutup mata."

"Kalian melakukan yang tidak-tidak di depan Fuku?"

Apa? Aku disalahkan? Dasar pasangan sialan! Yang begini baru kompakan!

"Begitulah, kami bersenang-senang." Hakon juga ngapain ikutan. Pasang gaya sialan, bertopang dagu dengan ekspresi yang begitu puas.

"Bersenang-senang kepalamu! Kau menggangguku semalaman!' Aku pukul-pukul Hakon melampiaskan kekesalan.

"Apa kau merasa malu?" Hakon malah menangkap tanganku, menekannya hingga menyentuh dadaku. Terus dia mendekatkan wajahnya, tersenyum sombong mempermainkan ku. Aku benci situasi ini! Wajahku yang memerah tak jelas dan dada yang terus berdebar seakan terpesona padanya.

"Ahhh! Mereka sangat romantis!" Lebih dari itu, suara jeritan Fuku membuat tambah kesal. Seakan memang ada rasa di antara kami.

"Hoo ... kalian kayak pasangan sungguhan. Bukannya hanya pura-pura, atau memang homo sungguhan?" Kalau omongan Tolya membuat emosi dengan artian lain. Memang tipuan Hakon padanya membuat seakan kami menyamar jadi pasangan, tapi Hakon juga tak pernah bilang kami pasangan palsu.

"Menurutmu?" Hakon meladeni Tolya.

"Aku tak tahu, jadi bertanya." Tolya makin menjadi.

"Kalau begitu nilai sendiri." Terpancinglah Hakon.

Sebelum aku sempat melarikan diri, Hakon telah menarikku ke pelukannya, Ia menciumku, melumat bibirku dengan rakus dan terakhir memasukkan lidahnya mengajak lidahku bermain bersama.

Bam! Bam! Bam!

"Ahhh! Mereka pasangan sungguhan, Senior!" Fuku pun menjerit kegirangan sambil pukul-pukul meja, membuat seluruh perhatian tertuju pada kami. Saat itu juga, rasanya aku ingin jadi gumpalan bulu hitam. Kabur ke dalam hutan, makan beri sampai kekenyangan.

"DASAR BODOH!" Tapi kenyataannya aku hanya bisa mendorong Hakon, menempeleng kepalanya, kabur ke kamar. 

What Does Fox Want 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang