Jimin menuruni anak tangga tergesa. Menghiraukan rambut acak-acakan yang sebenarnya bukan gaya dia, dan pakaian yang hanya mengenakan setelan hoodie hitam dan celana pendek coklat.
Dengan mata sembab, pipi yang makin mengembang, dan juga bibir yang masih tetap mengerucut, tanda tak ingin di ajak bicara siapapun, Jimin tetap melanjutkan langkahnya.
"Jimin, mau kemana sayang?" Tanya Mama nya, setelah melihat Jimin berjalan tergesa tanpa melihat sekelilingnya.
Nyonya Park mencoba meraih Jimin, sekaligus menyadarkannya dari pikiran Jimin yang kosong, yang ia yakini sudah penuh akan berbagai persoalan.
Jimin menoleh, ke arah mama nya, "kenapa, ma?" Tanyanya.
Nyonya Park menatap prihatin melihat kondisi anaknya yang sangat jelas terlihat down, lalu memberi kode ke arah Jimin melalui gerakan matanya yang sedikit melirik ke arah sofa ruang tamu rumahnya.
Jimin yang menyadarinya menoleh seketika, dan ternyata orang yang sangat tak ingin Jimin temui ada di sana, sedang duduk cantik, dan tersenyum manis ke arahnya.
"Lo ngapain ke sini?" Tanya Jimin, sembari berjalan ke arah Seulgi, menyembunyikan muka kacaunya digantikan dengan raut tegas tak suka.
Lagi-lagi Seulgi tersenyum, meraih tangan kanan Jimin, "kamu gak lupa kan, hari ini kita ada janji sama desainer yang ngurus baju buat pernikahan kita nanti." Ucapnya.
Jimin tertawa renyah, "lelucon macam apalagi ini, Tuhan." Batinnya.
Jimin melepas genggaman tangan Seulgi, "Seul, gak gini..," ucap Jimin terjeda sebentar, "gw gak cinta sama, elo." Lanjutnya.
Bahu Seulgi merosot, apa benar-benar tak ada harapan sama sekali untuknya. Bahkan untuk perjuangannya selama hampir lima tahun ini? Lalu untuk apa Jimin menyetujuhi perjodohan ini, kalau pada akhirnya dia secara terang-terangan bilang tak mencintainya.
"Maaf, mungkin waktu gw bilang 'iya' dulu gw salah memahami obrolan, dan situasi. Waktu makan malam itu perasaan gw benar-benar kalut, dan tiba-tiba nenek gw bilang persoalan yang gak gw paham. Gw kira itu tentang perusahaan, ternyata itu tentang gw sama lo. Gw udah jelasin ini berkali-kali, Seul. Jadi tolong, jangan gini. Gw gak mau kita berdua makin terluka, terlebih elo." Jelas Jimin, sedikit memohon.
Nyonya Park hanya diam, karna ia tau, putranya itu masih sangat mencintai mantan kekasihnya, tapi sayangnya ia harus terjebak dalam masalah lain yang tak seharusnya.
Seulgi sudah menangis, Jimin memang sudah menjelaskan itu dua hari setelah jamuan makan malam, tetapi ia tak mau menerima kenyataan, dan ia tetap kukuh mencoba meluluhkan hati Jimin sekali lagi.
"Terus kenapa kamu gak ngelak waktu aku bilang calon tunangan kamu ke kedua temen kamu itu, Jim?"
Jimin diam, mengingat kejadian yang tak seharusnya ia lakukan, "pada hari itupun gw udah jelasin ke elo, dan jawabannya masih sama, ngebuat dia cemburu, tapi sayangnya gw salah langkah, dan gw nyesel." Terangnya, dengan penyesalan yang terlihat jelas pada raut wajah Jimin.
Seulgi mendongak, mengarahkan pandangan ke netra Jimin yang terlihat benar-benar hancur, atau bahkan sulit dijelaskan, "jangan bilang, salah satu-iya, seperti dugaan elo, salah satu dari mereka adalah orang yang sangat gw cintai, tapi bodohnya lagi-lagi gw ngecewain dia." Potong Jimin cepat, dengan menekankan kalimat 'cintai' kedalam ucapannya.
"Kamu gak bisa giniin aku, Jim. Secara gak langsung kamu udah nyakitin aku juga."
Mereka berdua sama-sama diam, sedangkan Nyonya Park memilih pergi meninggalkan mereka, karna ia berfikir mereka sudah cukup besar untuk menyelesaikan permasalahan mereka berdua tanpa perlu bantuan orang yang lebih tua.
![](https://img.wattpad.com/cover/113301592-288-k613539.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SORRY || MinYoon -(END)-
FanfictionSemua berawal dari kamu. Kamu yang memulai, kamu juga yang mengakhiri. Kamu yang memohon, kamu juga yang meruntuhkan. Semua karna kamu, aku menjadi seperti ini. Menjadi terlalu cinta yang sebenarnya tak baik untukku. Area MinYoon. Bagi yang tidak su...