Chapter 19: Soul Reaper

34 2 0
                                    

Ada sedikit perubahan di chapter 18, jadi silakan dibaca ulang :v wkwkwkwk.

———————————————————————————

"Si-Siapa kau?! SIAPA KAU?!" bentak Matsumura dengan kasar.

"Hei, hei. Jangan kasar begitu, nak. Setidaknya ucapkan 'hai.' Sopanlah sedikit." Suara yang berat itu kembali terdengar, terkesan seperti sedang terkekeh pelan.

"Paman Yumatsu, apa yang anda lihat di dalam tubuhku?" tanya Matsumura.

"De-Dewa Kematian ...," ucap Yumatsu terbata-bata. Wajahnya masih pucat pasi karena ketakutan. "Mungkinkah Soul Reaper? Ti-Tidak mungkin .... Dia, 'kan, cuma ada dalam legenda ...."

"Hei, bocah. Aku cuma datang untuk mengucapkan salam. Belum saatnya bagi kita untuk bertarung bersama. Kalau begitu, sampai jumpa."

"Be-Bertarung bersama?!" ujar Matsumura. "Hei!! Apa yang kau maksud dengan bertarung bersama?! Dan bagaimana kau bisa ada di dalam tubuhku?!"

"Belum saatnya bagimu untuk mengetahuinya, mortal. Tunggulah hingga saatnya tiba."

"Saatnya ..., tiba?! Hei!!" Matsumura terus berseru. Namun, tak ada lagi sahutan dari makhluk tadi.

"Ba-Bagaimana kau bisa memilikinya? Makhluk legendaris itu ...," ucap Yumatsu dengan tatapan tak percaya.

"Aku juga tak tahu," sahut Matsumura. "Aku terbangun di hutan itu dan sama sekali tak ingat namaku. Tak ada satupun memori yang tersisa tentang diriku di masa lalu, keluargaku, maupun yang lainnya. Aku juga tidak tahu bagaimana makhluk itu bisa ada di dalam tubuhku."

Belum selesai keterkejutan mereka, suara dentuman yang amat nyaring terdengar, kembali mengagetkan kedua orang itu.

"Bunyi ledakan?!"

"Suaranya keras sekali, pasti tak jauh dari sini!!" seru Matsumura.

"Si-Sial .... Mereka datang ...." Wajah Yumatsu tampak semakin pucat. Keringat dingin membanjiri tubuhnya.

"Eh? Siapa yang kau maksud dengan 'mereka?!'" ujar Matsumura dengan tatapan waspada.

"Barusan aku bilang kalau hutan tadi sering menjadi medan perang, 'kan?" ujar Yumatsu. "Desa ini juga ...."

"A-Apa?!" Matsumura terperanjat. "Tunggu, desa ini, 'kan, tidak ada hubungannya dengan kerajaan-kerajaan yang berperang itu!!!" protesnya.

"Memang, tapi pasti mereka akan menganggap kita sebagai musuh. Desa yang berada di medan perang biasanya selalu menjadi korban. Di medan perang, bagi mereka semuanya adalah musuh."

"Yang benar saja!! Apa-apaan itu?!" seru Matsumura. "Ke mana kemanusiaan pergi?! Apakah kemanusiaan sudah hilang di era ini?!"

"Ya, kemanusiaan memang sudah hilang," sahut Yumatsu. "Hilang ditelan oleh keabadian. Sekarang, ras manusia sudah seperti dewa. Mereka sudah mencapai kesempurnaan, sehingga lupa akan segalanya. Mereka dikuasai oleh dosa-dosa."

"Namun, kalian juga tidak bisa mati, 'kan?" ujar Matsumura. "Bukankah itu berita bagus?"

"Tidak, nak. Tidak bisa mati lebih mengerikan daripada kematian itu sendiri. Kau pilih merasa sakit sebentar lalu mati, atau tidak bisa mati sehingga harus merasakan sakit yang luar biasa itu selamanya? Yang mana yang akan kau pilih, Nak Matsumura?"

"Opsi yang kedua," ujar Matsumura.

Dentuman kembali terdengar. Kali ini bertubi-tubi. Di luar desa, asap hitam sudah membubung tinggi. Pertempuran besar terjadi. Beberapa saat kemudian, salah satu pihak mundur. Pihak kerajaan yang satunya lagi pun segera memeriksa berbagai tempat yang mungkin menjadi tempat persembunyian para prajurit dari negara musuh. Perhatian mereka kemudian teralihkan kepada desa tempat Matsumura dan Yumatsu berada. Dengan cepat, mereka memasuki desa untuk memeriksa. Para penduduk desa tak bisa melawan maupun berbuat banyak, hanya mampu bersembunyi di dalam tempat paling rahasia di rumah mereka, berharap Dewi Fortuna berpihak kepada mereka sehingga tidak ketahuan oleh prajurit-prajurit yang memeriksa itu. Lari dan meninggalkan desa? Percuma saja. Nanti malah benar-benar dianggap sebagai prajurit dari kerajaan musuh. Desa itu tak memiliki penjaga gerbang maupun prajurit, jadi satu-satunya opsi yang tersedia adalah bersembunyi dan berharap. Melawan mereka? Itu sama saja bunuh diri. Kekuatan sihir seorang warga desa biasa jauh berbeda dengan kekuatan sihir seorang prajurit.

Derap langkah kaki mulai terdengar, semakin lama semakin keras, menunjukkan bahwa pasukan semakin dekat.

"Tampaknya, kita harus menjalani sakit yang lebih buruk daripada kematian, Nak Matsumura," ucap Yumatsu. Wajahnya semakin pucat seiring dengan semakin dekatnya suara derap langkah itu.

Matsumura tak menjawab, hanya mampu diam terpaku dengan wajah yang juga pucat pasi. Ia bingung tentang apa yang harus dilakukan. Ia baru saja terbangun di hutan itu tadi pagi. Kekuatan sihirnya belum berkembang, bahkan belum terlatih sama sekali. Lalu, bagaimana cara menghadapi mereka semua?

"Bersembunyilah, Matsumura. Aku akan menghadapi mereka sebisaku," pinta Yumatsu.

"Kau bercanda? Mana mungkin aku meninggalkanmu sendirian." Matsumura menyahut.

"Hmp, terserah," ujar Yumatsu sembari tersenyum, menyiapkan raga dan jiwanya untuk bertarung.

Yumatsu mencoba menerawang lewat kacamata berlensa satunya. Cahaya keemasan kembali menyelimuti lensa itu. "Mereka sudah dekat, Matsumura. Sebaiknya persiapkan dirimu. Kau hanya perlu memejamkan mata dan memfokuskan energi yang mengalir di sirkuit sihirmu ke titik tubuh yang kau inginkan."

Langkah kaki itu semakin dekat dan kenop pintu rumah Yumatsu mulai berputar, kemudian pintu terbuka dengan cara yang amat kasar.

"Jangan bergerak!!!"








To be continued





Yap first fight sudah dimulai!! Apakah Matsumura akan menang? Atau kalah? Saksikan di chapter selanjutnya :v (Readers: PROMOSI TEROOOOSSSS)

Author: lah gapapa, biar pada penasaran dan tertarik :v wkwkwkwk.

Sekian untuk chapter kali ini. Terima kasih atas waktu yang telah kalian luangkan dan sampai jumpa di chapter selanjutnya. Jangan lupa tinggalkan jejak berupa kritik, saran, vote, dan comment :v Bye!!!

-Author

Spirit God Kara, Tensei Shitara Shinigami ni Natta?!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang