Kini Leo berada di sebuah taman bersama Sabrina. Sudah setengah jam yang lalu ia pulang dari kampus dan menunda niatnya untuk menemui adiknya yang tengah sakit sekarang.
Yang membuat Leo berangkat kuliah adalah perkataan Dokter yang mengatakan kondisi adiknya sudah baik-baik saja, serta paksaan Rena yang tak akan memperbolehkannya bertemu Lea lagi jika tidak segera berangkat.
Alasan Leo ingin sekali menemui sang kekasih adalah perubahan gadis itu yang semakin berbeda.
Sejak Leo pergi ke rumah sang Opa, sejak itu pula ia sama sekali tak mendapat kabar dari Sabrina.
"Kenapa gak pernah ada kabar?" tanya Leo.
Sabrina yang sedari tadi menunduk memainkan jari akhirnya mendongak menatap wajah teduh Leo.
"Aku sibuk, maaf," jawabnya.
"Sesibuk apa sampai pesan dari aku gak pernah kamu balas?" ucap Leo. "Udah bosan pacaran sama aku, ya?" lirihnya.
Sabrina menggeleng membantah ucapan Leo. Ia tak bosan, hanya saja Sabrina takut akan kehilangan lagi.
"Aku sama sekali gak bosan, kepikiran pun gak pernah. Aku sayang sama kamu, Le. Kenapa kamu bisa ngomong kaya gitu?!" tolaknya.
"Karena kamu berubah, kamu udah beda. Rasanya seperti kamu menjauh, apa ada sesuatu dari aku yang udah buat kamu gak nyaman, hmm?"
Tangan cowok itu meraih tangan Sabrina untuk digenggam. Entah kenapa, perubahan gadis itu tak membuat rasa cintanya berkurang.
"Kita sudah hampir tiga tahun pacaran, tapi kamu masih belum bisa terbuka sama aku. Apa sesulit itu mengeluh sama pacar kamu ini? Aku gak akan marah kalau alasan kamu berubah ada di diri aku," jelas Leo.
Sabrina tau Leo kecewa, tapi apa semua akan baik-baik saja jika cowok itu tau yang sebenarnya. Ia belum siap untuk ditinggalkan Leo begitu saja.
Sabrina takut.
***
Mata bulat itu mengerjap beberapa kali sebab cahaya yang begitu menyilaukan.Saat pandangannya sudah kembali normal, ia bisa melihat sang Ibu berjalan cepat kemudian memeluknya begitu erat.
"Kenapa Lea lama banget bangunnya, hah? Bikin Mami takut aja!" omel Rena.
Jelas saja sebab anak perempuannya itu sudah tak sadar selama tiga hari sejak kematian Opa. Akibatnya, Lea tak bisa mengikuti upacara pemakaman Opa nya.
Lea bangkit dari tidurnya dibantu oleh Rena, tak ada orang lagi selain mereka berdua di sini.
"Papi sama Abang mana, Mi?"
"Leo kuliah kalau Papi kerja. Udah dua hari mereka bolos, kalau gak Mami paksa pasti mereka masih di sini. Apalagi si Jerry, susah banget di kasih tau. Dia bahkan gak mau lepas dari kamu," cerita Rena dengan begitu menggebu-gebu.
Sedangkan Lea mengangguk saja mendengarkan.
Dua pasang Anak dan Ibu itu menoleh seketika saat mendengar pintu diketuk kemudian terbuka dari luar. Di sana ada Luna dan Ibunya yang datang.
Lea memang telah dipindahkan ke rumah sakit di dekat kediaman Arga dan Rena setelah sebelumnya dirawat di rumah sakit yang sama dengan sang Opa.
"Lea udah sadar? Gimana keadaan kamu?" tanya Luna.
Pasalnya ia dan sang Ibu sudah datang sejak satu jam yang lalu, tapi Lea belum sadar. Akhirnya karena lapar mereka berdua memutuskan untuk mengisi perut dulu sekaligus membawakan makanan untuk Rena.
"Lea baik-baik aja. Emang Lea kenapa?" bingungnya, terakhir yang Lea ingat adalah menangis di gendongan sang Om.
"Kamu pingsan, besoknya kamu demam tinggi sampai gak sadar tiga hari," jelas Rena.
"Mami, Opa mana?" lirihnya.
Tangan Rena tergerak untuk mengusap kepala sang putri. "Opa udah pulang ke pangkuan Tuhan, Opa udah bahagia di sana jadi Lea jangan sedih. Pasti Opa marah kalau Lea sedih," tuturnya.
Lea mengangguk menyanggupi, meski perasaannya sesak ingin menangis. "Lea gak sedih, kok. Lea senang kalau Opa udah bahagia."
"Bagus, ini baru anak Mami," balas Rena mendaratkan kecupannya di pipi Lea.
"Luna," panggil Lea.
"Iya? Lea butuh sesuatu?" jawab Luna.
"Lea udah tiga kali bolos, pasti Le- "
"Gak, kok. Leo udah anterin surat izin, jadi Lea gak akan dianggap bolos. Tapi kita dikasih tugas banyak banget," jelas Luna.
"Gak apa-apa, nanti setelah pulang Lea langsung kerjain," ucap Lea.
Lagi-lagi semua menoleh menatap pintu yang terdorong dari luar, setelah itu Arga muncul di baliknya.
"Papi!" Semangat Lea. Tangannya sudah merentang ingin segera dipeluk.
Tak menunggu lama Arga langsung memeluk sang putri kesayangan, mengecup kening Lea lama menyalurkan rasa leganya.
"Akhirnya Lea bangun, Papi khawatir sama Lea, tau," ucapnya seraya mengeratkan pelukan itu.
"Lea gak apa-apa kok, Pi," balas Lea ikut mengecup rahang kokoh sang Papi. "Abang belum pulang, ya?"
"Gak tau, tapi biasanya jam segini sudah pulang. Mungkin Abang mampir ketemu Sabrina dulu," jawab Arga.
"Rena Arga, keliatannya udah sore. Gue balik dulu, takut Papanya Luna pulang," sela Mama Luna.
Arga mengangguk saja sedangkan Rena bergegas untuk mengantar mereka hingga ke depan pintu. Sebelum Rena menyentuh ganggangnya ternyata pintu tersebut sudah lebih dulu terbuka, menampilkan Aldo dan sang putri serta Sarah di sana.
"Abang? Kok gak ngabarin mau datang?" panik Rena.
"Kenapa emangnya? Gak boleh Abang ketemu ponakan Abang sendiri?!" balas Aldo.
"Bu-bukan gitu, tapi kan udah hampir malam kasian Queen," alibi Rena.
"Gak apa-apa," balas Aldo memasuki ruangan tersebut dengan Queen di gendongannya.
Baru saja masuk, langkahnya seketika terhenti. Tatapannya tertuju pada seorang wanita yang kini sudah berdiri kaku menatapnya juga.
"Kenapa? Kenapa dia ada di sini?!" geram Aldo menatap tajam orang itu.
Queen ia berikan pada istrinya, dengan langkah lebar Aldo mendekati Mama Luna. Tangan lebarnya seketika mencengkram kuat dagu wanita itu.
"Masih punya malu Lo?! Kenapa Lo balik lagi setelah semua sudah bahagia! Siapa lagi yang mau Lo buat menderita, hah?!" marah Aldo. Ia benci, benar-benar membenci wanita di hadapannya ini.
"Uncle! Jangan marahin Mamanya Luna!" marah Lea.
"Dia pantas!"
Arga berjalan maju, mendorong kasar bahu Aldo agar menjauh dari Mama Luna yang masih terlihat syok.
"Jangan buat keributan di sini. Selesaikan urusan kalian di luar saja, masalah ini gak baik jika dilihat Lea," tutur Arga.
"Ada apa ini?"
Semua mengalihkan perhatian menatap orang yang baru saja berbicara itu.
"Jerry?" lirih Mama Luna.
Tatapan Jerry terpaku saat matanya menangkap sosok wanita itu. Dadanya bergemuruh sesak membuat cairan bening turun begitu saja dari matanya.
Pria itu segera melangkah lebar, menubruk tubuh Mama Luna hingga masuk ke dalam pelukannya. Semua menjadi saksi betapa pedihnya tangis dua orang itu.
Jerry mengecup pipi wanita diperlukannya cukup lama, menyalurkan rasa rindunya yang begitu dalam.
Melupakan Lea yang juga menyaksikan kemesraan mereka berdua.
Jangan lupa votemen 🌟
Sorry telat😁Gimana perasaan kalian saat tau Mama Luna adalah orang yang dirindukan Jerry?😳
Salam
Rega♥️7 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Why You, Om? (Selesai)
RandomSERIES #4 Highest Rank : #1 of 25 in Sibbling [22/01/22] #44 of 53,1k in teen [16/1/2021] #18 of 36,9k in random [16/1/2021] #213 of 324k in romance [16/1/2021] #143 of 223k in love [16/1/2021] #1 of 5,03k in twins [11/1/2021] Ternyata semua tak sem...