hujuT huluP auD

19.6K 1.7K 96
                                    

Hidup memang tak pernah semulus yang dibayangkan. Kadang, ada saja kesulitan yang harus dihadapi. Entah karena ia yang memang kurang bersyukur atau sudah kehendak Tuhan, dirinya lagi-lagi ditimpa masalah.

Jujur, kehadiran Leo sedikit merubah hidupnya. Leo selalu hadir disaat-saat ia butuh bantuan seseorang. Berangkat dan pulang bekerja selalu kekasihnya itu yang mengantar, makan pun terkadang Leo yang membeli.

Saat ia sedih, ingin marah dan menangis, Leo lah orang pertama yang mengetahui keresahannya.

Leo terlalu baik.

Sedangkan dirinya? Apa yang bisa ia berikan pada cowok berhati malaikat itu. Bahkan, Leo tak pernah meminta hal lebih darinya.

Sabrina kembali mengingat saat kali pertama Leo mengungkapkan perasaannya. Jujur ia tak tau jika alasan Lea meminta dirinya untuk makan malam di kediaman keluarga Arga Stevano itu agar Leo bisa mengungkapkan isi hatinya.

Terkejut? Tentu saja.

Leo sebelumnya tak pernah memperlihatkan gerak-gerik yang aneh setiap kali mereka bertemu, cowok itu hanya bersikap seperti biasa hingga membuat Sabrina sama sekali tak berfikir ke arah sana.

Bahkan, untuk melakukan pendekatan saja belum. Tiba-tiba Leo mengungkapkan perasaannya tepat di depan keluarga cowok itu.

Meski terlihat gugup, Leo memang pandai merangkai kata hingga membuat dirinya ikut terhanyut dalam tatapan dalam itu.

"Maaf, ini tiba-tiba dan tanpa persiapan. Maaf juga kalau aku gak bisa kasih apa-apa, tapi berhubung kamu ada di sini, di depan orang tua dan adik aku. Aku mau mengungkapkan sebuah harapan yang mungkin tak akan terwujud, tapi setidaknya sudah aku sampaikan. Mereka akan jadi saksi dari pernyataan aku hari ini."

"Sabrina, aku selalu berharap dalam hati untuk bisa menemukan pasangan yang mampu merubah pandangan aku tentang hal bodoh yang dinamakan cinta. Dan ternyata, kamu bisa mewujudkan itu. Aku benar-benar sudah terperangkap dengan sikap lembut kamu, kamu selalu tulus dan penyayang. Aku harap, kamu mau jadi pasangan cowok yang sama sekali jauh dari impian kamu selama ini."

Suara pintu membuyarkan lamunannya. Sabrina segera berdiri menghampiri seorang pria yang keluar dari balik pintu.

"Apa anda keluarga pasien?" tanya pria yang berprofesi sebagai Dokter itu.

"Iya, Dok. Saya anaknya," jawab Sabrina.

Dokter itu mengangguk singkat kemudian berkata ,"Ibu anda harus segera melakukan operasi transplantasi ginjal. Pihak rumah sakit akan segera bertindak saat biaya administrasi sudah dipenuhi."

Tatapan Sabrina seketika berubah kosong. Biaya operasi itu tak sedikit, uangnya tak akan cukup. Bahkan, setengahnya pun pasti tak sampai. Ia segera berterima kasih pada Dokter tersebut dan pamit pergi.

Mungkin meminjam di cafe tempat bekerja bisa sedikit mengurangi bebannya. Ia tak apa jika gajinya dipotong atau bahkan tak diberikan, anggap saja ia mengambil gaji miliknya lebih dulu.

Di perjalanan ponselnya berdering, jika biasanya hal itu akibat panggilan telepon dari Leo tapi kali ini pasti bukan. Mereka sudah tak bersama meski ia masih belum bisa melupakannya.

Langkah gadis itu seketika terhenti, ditatapnya layar ponsel yang masih ia genggam. Mengapa disaat seperti ini Leo selalu hadir untuknya.

Cowok itu tau kapan ia dibutuhkan.

"Halo? Are you okay, Sabrina?"

"Gak apa-apa. Ada apa, Le?" ucapnya berpura-pura.

"Jangan bohong! Aku tau kamu."

Gadis itu menarik nafasnya dalam, ia benar-benar butuh sandaran. Tapi jangan Leo, ia takut tak bisa berpaling dari cowok itu lagi.

"Sabrina?"

Suara lembut itu kembali membuat hati Lea menghangat. Dadanya bergemuruh sesak, cairan bening dari matanya memaksa untuk keluar.

"Aku memang bukan siapa-siapa lagi," Jeda Leo dari seberang sana. "Tapi aku siap jadi sandaran disaat kamu capek sama segalanya, Sabrina."

Pertahanan Sabrina akhirnya runtuh, ia berjongkok menumpahkan seluruh keresahannya di sana. Tak peduli lagi dengan larangan sang Ibu, ia benar-benar butuh Leo sekarang.

"Kirim alamat kamu sekarang, aku sama Lea bakal ke sana ... jangan nangis saat lagi sendiri, tunggu aku."

Sambungan terputus, dengan air mata yang masih mengalir ia mengetikkan alamat dirinya berada pada Leo.

Padahal yang lebih dulu ia berikan kabar adalah Sheila, tapi Leo lah yang selalu sigap menemaninya di saat sulit seperti ini.

Ia dan Ibunya baru saja diusir dari rumah karena sudah dua bulan menunggak. Akhirnya mereka memilih pergi untuk mencari tempat tinggal yang sesuai dengan sisa tabungan Sabrina.

Di tengah perjalanan penyakit gagal ginjal yang Ibunya alami kambuh, membuat Sabrina panik dan segera membawa sang Ibu ke rumah sakit terdekat.

Saat itu pula ia menghubungi Sheila untuk menemaninya agar tak begitu takut. Tapi mungkin gadis itu juga tak berani pergi sendiri hingga tak kunjung datang sampai sekarang.

Sabrina tersentak kaget saat merasa seseorang tengah memeluknya begitu erat. Tapi rasa nyaman seketika melingkupi, membuatnya ikut membalas pelukan hangat itu seraya menumpahkan segala kesedihan, tanpa peduli ponselnya yang tergeletak di jalanan.

"Tenang, ada aku di sini," tutur Leo mengusap punggung Sabrina menenangkan. "Cerita apapun yang kamu mau, aku siap jadi tempat pelampiasan emosi kamu."

Tak ada jawaban, gadis itu masih menumpahkan kesedihannya. Tangis menyakitkan itu membuat Lea yang berada di belakang sang kakak turut merasakan kesedihan Sabrina.

Baru saja ingin melangkah mendekat. Ponsel sahabatnya yang sempat terlempar itu berdering. Karena tak ingin mengganggu Sabrina dan sang Kakak, Lea memilih menjawab panggilan itu sendiri.

"Halo?"

Lama Lea terdiam, dengan seksama ia mendengar penjelasan orang di seberang sana. Matanya seketika ikut berkaca menatap iba sahabatnya.

"Sabrina yang sabar, ya," ucap Lea.

Leo berbalik tersenyum menatap sang adik, dengan satu tangan yang masih setia memeluk mantan kekasih serta satu tangan lagi menggenggam tangan Lea. "Sabrina gadis kuat, dia pasti bisa melewati semuanya dengan sabar persis seperti yang Lea bilang," balas Leo.

Adiknya menggeleng. "Bukan, maksud Lea, Sabrina jangan sedih, Sabrina harus kuat, biar Mamanya Sabrina bahagia di sana."

Pandangan Sabrina beralih menatap Lea. "Maksudnya kamu apa, Lea? Mamaku masih hidup dan baik-baik aja."

Air mata Lea menetes melihat betapa hancur sahabatnya sekarang. "Dokter tadi telepon Sabrina, tapi Lea yang angkat dan Dokter bilang ...

Mamanya Sabrina sudah meninggal beberapa menit yang lalu."

Jangan lupa votemen 🌟
Kali ini gak ada Om Jer gak papa
ya😂

Salam
Rega♥️

28 Juni 2020

Why You, Om? (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang