saleB agiT

21.6K 2K 411
                                    

"Jer, Lo kenapa?"

Ian mendekat tanpa peduli bentakan sahabatnya itu. Pasti ada sesuatu yang tidak ia ketahui di sini tentang Jerry.

"GUE BILANG JANGAN MENDEKAT, BRENGSEK!"

"LO KENAPA BODOH! LIAT, LEA JADI TAKUT SAMA LO!" balas Ian ikut terbawa emosi.

Jerry menoleh, menatap gadisnya yang masih bersembunyi memeluk Leo. "Bawa Lea pergi, kalian juga pergi," lirihnya. Pria itu mengusap wajahnya kasar. "Jangan deket-deket gue lagi, kalian bakal menderita di dekat gue. Semua dapat masalah saat jadi temen gue, gue pembawa sial, Yan," sambungnya.

Ian tertawa sinis. "Cuma karena itu? Tolol, siapa yang percaya sama hal-hal macam itu!" ucap Ian tak habis pikir.

"Gue! Gue percaya karena emang itu kenyataannya!" balas Jerry.

Ian menghela nafas lelah. "Gak ada yang sial deket-deket Lo, Jer. Gak ada!"

Melihat Jerry masih tetap pada pendiriannya membuat Leo terpikir untuk menggunakan sang adik. "Lea, mau gak bujuk Om Jerry?" bisiknya.

"Takut, nanti Lea dimarahin Om Jerry," adu gadis itu.

"Gak, Om Jerry gak akan marah sama Lea. Kalau sampai Om Jerry marah, biar Abang yang marahin balik," balas Leo meyakinkan.

"Beneran?" Ia takut, tapi juga ingin.

Leo mengangguk mantap, ia tersenyum senang saat Lea telah melepas pelukannya. Gadis itu berbalik menatap Jerry yang duduk membelakanginya.

Namun, tak lama Lea berbalik lagi menatap Leo, membuat sang Kakak mengerut bingung. "Ada apa? Masih takut? Kalau Om Jerry marah, tonjok aja hidungnya biar patah."

Gadis itu menggeleng. "Lea mau tanya, sial itu apa?"

Leo mendadak diam, termasuk Rio yang juga mendengar percakapan mereka. Sedangkan Rena dan Dimas kini diam dengan bibir rapat menahan tawa.

"Sial itu artinya baik," jawab Dimas.

"Oh, jadi sial itu baik?"

"Iya, jadi kalau ada cowok yang tiba-tiba baik dan dekat-dekat Lea, langsung puji aja dia, bilang ke cowok itu kalau dia sial."

Lea mengangguk, kakinya melangkah menghampiri sang Om. Gadis itu langsung memeluk leher Jerry yang masih beradu argumen dengan Ian dari belakang.

"Om Jer, Lea kangen," bisik Lea tepat di telinganya.

Jerry memejamkan mata menikmati degup jantungnya yang sudah beberapa hari ini tak pernah ia rasakan lagi. Suara itu berhasil meruntuhkan pertahanannya lagi, bagaimana ia bisa menjauh jika seperti ini.

Ia ingin menjauh, dirinya yang brengsek merasa tak pantas berada di sekeliling mereka, orang-orang baik yang sudah Jerry hancurkan kebahagiannya di masa lalu.

"Om Jer, gak kangen Lea, ya? Om Jerry marah sama Lea, ya? Lea minta maaf kalau udah buat salah, Om Jerry jangan marah lagi."

Jerry menggeleng cepat, ia menoleh ke pada Lea hingga bibirnya berada tepat di pipi empuk itu. Sang Om mengecupnya lama, menyalurkan rasa rindu yang sudah ia tahan berhari-hari.

"Lea gak salah, Om yang harusnya minta maaf. Lea pasti kecewa karena tau Om yang udah bunuh Omanya Lea," tuturnya.

Lea bangkit tapi masih memeluk sang Om, kali ini pipinya mendarat di atas kepalanya Jerry, antara ingin tidur atau tetap terjaga. "Lea udah maafin Om Jerry, lagian Om Jerry udah di hukum, kan? Jadi harus dimaafin."

Jerry tertawa miris. "Tapi Om Jerry gak cocok buat Lea, Lea yang baik gak cocok sama penjahat kayak Om ini."

"Gak kok, Om Jerry bukan penjahat, Om Jerry orang sial," balasnya.

Lagi-lagi semua diam. Beberapa menatap Dimas sebab pria itu pelakunya. Sedangkan yang ditatap hanya cengengesan saja.

Pria itu berjalan mendekati Ian, mencoba menjelaskan maksud dari Lea yang mungkin saja bisa menyakiti hati Jerry. "Jer, maksud Lea gak gitu," ucapnya.

"Iya, Om emang sial. Makanya Lea jangan dekat-dekat Om, nanti Lea ikut sial," sedih Jerry.

Lea mengerut bingung. "Bukannya bagus kalau Lea juga sial?"

Dimas hanya menepuk jidat, pusing sendiri dengan keluguan anak dari Arga itu. Andai ia bisa memutar waktu, Dimas ingin sekali menarik perkataannya dan memilih diam saat gadis itu bertanya.

"Lea mending diem aja, ya? Udah ngantuk tuh, bobo, gih." Dimas menarik tangan Lea, meminta gadis itu untuk segera bangkit dan pergi tidur agar masalah tak bertambah runyam.

Lea menggeleng, masih memeluk sang Om. "Lea mau jadi orang sial kayak Om Jerry. Ajarin Lea, ya, Om?"

Mendengar itu Jerry pun ikut mengerut bingung. Ada yang tidak beres dengan gadisnya, apa Lea paham arti sial yang ia maksud?

"Lea, udah, ya?" sela Dimas kelabakan. Pasti sebentar lagi ia akan mendapat amukan dari Jerry. "Om tadi cuma bercanda, kok. Om bohong," jujurnya.

Seketika Lea mendelik, matanya menyipit marah. "Ihh, Om Dimas gak sial! Lea gak suka," sinisnya.

"Dimas?!"

***
Karena malam sudah sangat larut, mereka semua memilih menginap saja. Lagipula rumah itu masih terlalu besar untuk mereka semua.

Kecuali Rio yang memang besok harus bersekolah. Lea pun sudah setengah sadar duduk di samping Abangnya sebab semua kini berkumpul di ruang keluarga, mengintrogasi seorang Jerrico Fernandez yang sudah menghilang beberapa hari ini.

"Udah, ya. Gak ada yang bawa sial di sini. Dan jangan bahas bahas tentang sial dan sebagainya lagi, gue udah puyeng dengerin Lea ngomong kayak gitu mulu," keluh Dimas.

"Kenapa gak boleh, Om?" celetuk Lea yang sedari tadi sudah berbaring dengan paha Leo yang menjadi bantalnya.

Dimas seketika menyipit menatap gadis itu, ia pikir Lea sudah tidur sebab daritadi matanya sudah tertutup.

"Om Jer," panggil Lea membuka matanya lagi.

"Iya? Lea mau apa? biar Om ambilin," tanya Jerry.

"Gak mau apa-apa, Lea cuma mau bilang kalau Lea udah pacaran sama Stev."

Jangan lupa votemen 🌟
Ada yang jadian, nih😂
Perasaan Jerry apa kabarnya ya?

Salam
Rega♥️

14 Juni 2020

Why You, Om? (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang