saleB nalibmeS

19.4K 1.7K 138
                                    

"Ehh," halang Jerry.

"Kenapa?" tanya Lea bingung.

"Mau ngapain, kamu?" panik pria itu.

"Buka baju. Kan, Om Jer yang suruh."

Jerry mengusap wajahnya kasar. "Maksudnya bukan dibuka semua, buka bagian bahunya aja. Kan, yang mau digambar cuma bahu," jelas Jerry dengan sabar.

"Ohiya," ucapnya tersenyum malu.

Tangan Lea kemudian membuka dua kancing piyamanya dengan duduk memunggungi Jerry. Baju bagian atasnya disibak hingga menampilkan bahu mulus gadis itu.

Jerry hanya bisa menelan saliva, ia adalah pria dewasa yang normal. Untuk mengalihkan perhatiannya yang mulai tak karuan, segera ia mulai menggambar di sana.

Ting

Ponsel Lea berdenting tanda pesan masuk. Di bukanya pesan itu dengan segera, mungkin saja dari sang Kakak.

Tapi, bukan.

Ponsel itu dilempar oleh sang pemilik, Lea segera berbalik memeluk kencang tubuh Jerry dengan gemetar.

"Om Jerry hiks, Lea takut."

***
"Dokter, ada pasien darurat!"

Keluarga kecil yang tadinya berjalan penuh canda seketika terhenti, Dokter itu terpaksa membatalkan rencana makan siang bersama sang istri dan anaknya demi menolong pasien yang begitu membutuhkan bantuannya.

Istrinya mengangguk memperbolehkan sang suami yang sudah terburu-buru pergi menangani pasiennya, ia dan anaknya hanya berjalan pelan mengikuti dari belakang.

Semua keluarga pasien menunggu di depan pintu. Istri Dokter itu pun memilih duduk tak jauh dari sana seraya terus menenangkan sang anak yang selalu menanyakan Ayahnya.

"Papa kerja, kita tunggu sebentar lagi, ya? Setelah itu kita makan siang sama Papa," hibur Ibunya.

Anak berumur tujuh tahun itu mengangguk. Sangat jarang mereka bisa berkumpul, ada saja yang menghalangi seperti saat tadi. Tapi mau bagaimana lagi, itu sudah tugas Ayahnya sebagai seorang Dokter.

Bunyi pintu terbuka membuyarkan lamunan mereka semua, terlihat sang Ayah yang berdiri dengan wajah letih keluar dari pintu itu.

"Maaf, Tuhan berkehendak lain. Pasien tak bisa diselamatkan."

Setelah mengatakan tersebut sang Ayah kembali masuk ke ruang operasi. Bisa ia lihat kesedihan keluarga pasien, mereka pasti sangat-sangat kehilangan.

Setelah mengurus pasien dan segala urusannya, sang Ayah akhirnya bisa pulang. Tak apa meski rencana makan siang itu gagal, mereka masih bisa makan malam bersama. Dengan perasaan bahagia ia berlari memeluk pria kebanggaannya itu.

Mereka berjalan menuju mobil bersama-sama, meninggalkan rumah sakit dengan perasaan gembira.

Perjalanan pulang terasa begitu panjang baginya, mobil tiba-tiba terhenti, membuat anak itu seketika merapat pada sang Ibu saat seseorang menghadang mobil mereka di depan sana.

Tanpa takut Ayahnya turun demi melindungi istri dan sang anak. Niatnya hanya ingin bertanya baik-baik tentang permasalahan orang yang sudah menghadang mobilnya itu.

Namun, sudah terlambat.

Ayahnya itu dibunuh tepat di depan matanya, jeritan tertahan sang Ayah bisa ia dengar dengan jelas saat pisau pria jahat itu menusuk kulit leher sang Ayah. Ibunya telah menangis memeluk dirinya seraya menelpon seseorang.

Setelah Ayahnya tak berdaya, pria jahat itu pergi. Tak sedikitpun berbalik meski hanya untuk mengecek keadaan mobil. Ia pikir itu perampok, tapi setelah melihat dengan jelas.

Dirinya seperti pernah melihat orang itu sebelumnya.

Ia menangis memandang Ayahnya, ingin turun pun tak bisa sebab tak diperbolehkan. Sang Ibu sudah ada di depan sana, tepat di samping Ayahnya yang sudah tak bernyawa.

Air matanya ikut turun mendengar tangisan pedih sang Ibu. Mereka belum makan malam, Ayahnya tak boleh pergi begitu saja sebelum memenuhi janji mereka.

"Papa!" panggilnya dari dalam mobil.

"PAPA!"

Ia terbangun dengan nafas memburu, mimpi buruk itu kembali menghantuinya lagi. Matanya seketika menatap jam di dinding, ternyata sudah pagi.

Waktunya untuk bekerja.

***
"Leo?" bingung Sabrina. "Ngapain di sini, lagi?" tanyanya.

Sudah beberapa hari yang lalu mereka memutus hubungan, dan sejak dua hari yang lalu Leo tak lagi menampakkan wajahnya, sejak saat itu pula Leo tak menghubunginya lagi.

Tapi bagaimana bisa cowok itu kini telah berdiri di depan tempat kerjanya?

Sabrina memang mengharapkan hal ini terjadi. Namun, sisi lain di hatinya berkata jika ini salah. Mereka telah berakhir, dan untuk bisa melupakan bukankah harus menjauh untuk sejenak.

Leo tersenyum, entah sudah berapa kali Sabrina menolaknya, cowok itu tetap tak bisa melupakan sang mantan kekasih.

"Aku masih nunggu penjelasan kamu," balas Leo.

Sabrina menghela nafas panjang. "Aku sudah bilang bakal cerita kalau waktunya sudah tepat."

"Aku sekarang masih nunggu waktu itu dan berusaha untuk mempercepatnya," jawab Leo.

Sabrina diam, matanya memandang dalam manik Leo. "Setelah semuanya jelas, tolong jangan marah," pinta Sabrina.

Leo mengangguk. "Aku gak akan bisa marah, Sabrina. Kamu, sama berharganya dengan adik aku," jujur Leo.

Sabrina tersenyum miris, berharap cowok itu benar-benar bisa melakukan apa yang telah ia katakan.

Keduanya duduk di meja luar yang tersedia, suasana masih begitu hening di antara mereka. Seolah hanya dengan tatapan mata bisa menjelaskan segalanya.

Sabrina yang lebih dulu berpaling, ia menunduk seraya menghirup udara dengan rakus kemudian dihembus nya dengan panjang.

"Mama, gak suka kita sama-sama," ucap Sabrina.

"Jadi, karena itu?" tanya Leo. "Bukannya aku sudah pernah ketemu Mama kamu dan dia baik-baik aja sama hubungan kita?" lanjut cowok itu.

Sabrina menggeleng lagi. "Setelah tau siapa kamu yang sebenarnya, Mama marah. Mama gak suka kamu, Leo ...

Dan aku setuju dengan Mama!" balas Sabrina.

Jangan lupa votemen 🌟
Hayuk di tebak😂

Jika ada typo atau kesalahan apapun itu di cerita ini, silahkan komen, thanks😉

Salam
Rega♥️

20 Juni 2020

Why You, Om? (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang