1 | Pengangguran Banyak Acara

19.8K 1.7K 145
                                    

Abel memutuskan bangkit dari kasur saat dia menyerah untuk tidur. Sejak semalam, Arvin tidak membalas pesannya, pun tidak mengangkat panggilannya.

Abel sudah berusaha sekuat tenaga, sungguh. Hanya saja, untuk hal-hal seperti ini, dia memang kurang beruntung. Sejak dulu, Abel menganggap bahwa Tuhan tidak pernah memberinya sesuatu dengan cuma-cuma. Untuk hadir dan bernapas di bumi saja, Tuhan menukarnya dengan sebuah beban yang tidak akan pernah bisa Abel hilangkan.

Sudah saatnya kembali ke pekerjaan setelah dua bulan ia mengambil cuti. Pesan bernada emosi dari Sharga langsung menyapanya begitu Abel membuka emailnya yang bertumpuk.

How's the sun?

Setelah membalas, perempuan berambut sepanjang tengkuk itu mulai membuka satu persatu email yang lain. Beberapa proyek sudah masuk dan menunggu konfirmasi, dua email notifikasi bahwa desainnya memenangkan kontes, dan beberapa notifikasi email dari Paypal.

You're back now? Good! What're u doin, Senorita?

I am sorry. Is everything okay?

Sharga mengirim balasan panjang dalam bahasa Spanyol. Ditilik dari beberapa tanda seru, agaknya pemuda itu sedang mengomel.

Masih pukul empat pagi. Perempuan dengan kamisol tidur berwarna kuning itu menyugar poni. Ia memutuskan turun dari ranjang, dan membuka jendela kamar.

Jalanan kompleks masih lengang, tertutupi oleh kesuraman yang harus beranjak sebentar lagi. Embun masih menggantung di udara, beberapa tetesnya teruntai manis di ujung rerumputan, beberapa yang lain mengirimkan kesejukan di wajah Abel. Gadis itu bertopang dagu di kusen jendela, berpikir bagaimana caranya berbaikan dengan Arvin hari ini. Sebab, dia tidak pernah suka jika Arvin mendiamkannya. Abel akan susah berkonsentrasi pada pekerjaan dan mood-nya rusak seharian.

Menghela napas panjang, sepasang kaki jenjang itu melangkah ke meja kerja di samping tempat tidur. Dia jelas belum mandi, dan garis-garis bantal masih tercetak di pipi. Tapi untuk bekerja, dia tidak perlu rapi dan wangi.

***

"Perempuan sudah seharusnya bisa memasak. Itu sudah kodratnya. Apa yang mau dibanggakan dari perempuan jika bukan kemampuan memasak? Siapa yang akan mengurus suami kalau istri nggak bisa masak?"

Kalimat itu tercetus tiga bulan yang lalu, tepatnya ketika Arvin mengajak Abel bertemu dengan sang ibu untuk pertama kali sejak hubungan mereka terjalin lima belas bulan lalu.

Sejujurnya, Arvin tidak mempermasalahkan kemampuan memasak Abel. Dia lebih ingin Abel berhasil menjadi seorang ASN. Namun begitu mendengar syarat yang diajukan Leah, Arvin setuju jika Abel perlu mencari tutor memasak demi meningkatkan kemampuannya.

Maka, sudah saatnya ia kembali les memasak setelah libur dua bulan. Meraih ponselnya, Abel menghubungi Sekar. Tapi sepertinya, ia sedang tidak beruntung kali ini.

"Maaf ya, Bel. Aku bener-bener kewalahan..." Suara Sekar terdengar serak dan lemah. "Barusan pulang dari RS. Mutah terus dari berapa hari . Nggak ngerti kapan bisa buka lagi...Mas Lanna sampai sibuk--Mas! Ember!! HHmp--"

Sekar memutus sambungan lebih dulu, meninggalkan Abel yang melotot. Gadis yang terbalut jaket dan celana denim itu memeriksa kontaknya dengan buru-buru.

Siapa? Siapa? Batin Abel panik.

Teman Abel bisa dihitung dengan jari, dan teman perempuan yang bisa diajak masak-memasak dengan gembira jelas tidak ada di dalamnya. Jani membuatnya tidak punya teman dari balita sampai SMA. Kuliah pun, Jani masih berusaha sekuat tenaga membuat Abel tidak punya teman. Dia bukan mahasiswa yang berkilauan di fakultasnya. Dia tidak punya prestasi apapun yang membuat orang-orang menyukainya. Dia juga tidak secantik, sepintar, dan sepercaya diri Jani hingga orang-orang mengaguminya.

Colour Palette [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang