Abel berhenti pada alamat yang diberikan Nugi.
Rumah minimalis bertingkat dua itu terlihat teduh dengan tema abu-abu gelap. Taman kecil di depan rumah dipenuhi oleh palem-paleman dan krisan putih. Batu kerikil terhampar di jalan setapak menuju teras, sementara dinding-dindingnya dilapisi dengan keramik batu alam.
Gadis itu merogoh ponselnya, dan tetap tidak menemukan pesan apapun dari Arvin. Pesannya yang mengabarkan bahwa ia menemukan pengganti Sekar beberapa hari lalu, dibiarkan begitu saja dengan dua centang biru. Abel menghela napas panjang, dan memutuskan untuk beranjak. Lalu, ia berhenti kala melihat sesuatu yang ajaib di teras rumah itu.
Abel perlu meyakinkan diri jika lelaki yang memakai bando merah muda berbulu, sayap peri dan memegang tongkat peri yang bisa berbunyi itu adalah Nugi. Lelaki itu membelakanginya, sibuk bercerita pada seorang balita yang tergelak heboh.
Abel memegang dahinya. Perlahan sekali, ia memutar langkah.
"Gue pasti salah rumah," gumamnya linglung.
"Bel, udah sampai?"
Panggilan itu membuatnya merinding dari atas sampai kaki. Abel menelan ludah dan kembali berputar.
"Kenapa dahinya? Lo sakit, ya?" Lelaki itu meraih balita tadi dan mendekati Abel, masih dengan bando dan sayap perinya. Abel menarik satu langkah ke belakang dengan refleks, membuat Nugi menghentikan langkahnya. Tatapan lelaki itu terlalu memahami. "Dahi lo sakit?"
"Nggak..." Abel menggeleng, berusaha mengusir rasa linglung yang sempat membelenggu.
"Baguslah, bantu gue nemenin Talita. Mita baru sibuk, soalnya." Lalu ia tertawa melihat ekspresi Abel. "Canda, Bel. Kenalin, ini Talita. Princess gue."
Talita, balita itu mempunyai rambut keriting yang dikepang dua di sisi kepala. Ia menatap penasaran pada Abel dengan sepasang mata bulatnya. Tapi sungguh, bulu mata lentik yang tebal itu membuatnya jatuh hati.
"Halo manis," Abel membungkuk pada Talita. "Usianya berapa?"
"Satu tahun bulan ini," jawab Nugi memainkan tangannya. "Lucu, kan?"
"Mirip Mas Manda." Abel tersenyum samar kala Talita mengoceh ceria.
Ketika gadis itu menegakkan diri, dilihatnya Nugi menatapnya tanpa kedip.
"Kenapa?" Abel mengerutkan kening.
Nugi menggeleng canggung, membuat hiasan di bandonya bergoyang cepat.
"Ayo ke dalam."
Agaknya, ia memahami keengganan Abel yang masih memberi jarak diantara mereka. Lelaki itu masuk lebih dulu. Abel mengikutinya setelah membisikkan kata permisi.
Rumah itu beraroma seperti...roti? Manis. Seorang wanita menyambangi mereka dengan senyum lebar.
"Abel, ya?" tanyanya antusias seraya menjabat tangan Abel. Ia mengambil Talita dari gendongan Nugi. "Mita. Mas Manda dan Nugi udah banyak cerita tentang kamu. Terima kasih atas bantuannya untuk Comma."
Perempuan muda berwajah keibuan itu berbicara tulus, yang diangguki Abel dengan canggung.Gadis itu mengulurkan satu plastik penuh buah-buahan pada Mita.
"Makasih, Mbak. Maaf merepotkan."
"Nggak perlu sungkan." Mita membalasnya dengan berbinar. "Silahkan dipakai dapurnya. Yang pasti jangan lupa diberesin habis kalian acak-acak."
Setelah mengucapkan terima kasih, Abel mengikuti Nugi. Dalam setiap langkahnya, Abel bertanya-tanya pada diri sendiri apakah keputusannya sudah benar.
Aroma manis itu menguat kala ia memasuki dapur keluarga Mandala yang jauh, jauh lebih menarik ketimbang dapur miliknya. Aroma mentega, lelehan susu kental, dan aroma-aroma harum lainnya, Abel membauinya di udara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colour Palette [Published]
ChickLitKetika Abel tidak bisa menyebutkan nama-nama rimpang dengan benar, Abel sadar dirinya bukanlah menantu idaman Leah. Tapi, bukankah cinta selalu tentang perjuangan? Setelah kekurangan-kekurangan yang ia miliki, ia tidak bisa membiarkan kekurangan...