33 | Si Merah dan Si Putih

9.1K 1.5K 612
                                    

"Bel, nanti arsitek yang megang Athlas mau ke sini. Mau ikutan meeting, nggak?"

Suara Manda membuat Abel memalingkan wajah dari gerumbul kecil tanaman herbal di hadapannya.

"Papa!"

Talita duduk di kursi singgasananya. Gadis mungil itu sedari tadi menemani Abel di sini sementara Mita menjemur cucian di lantai dua. Manda menerima potongan pepaya yang diulurkan Talita sebelum mengusap puncak kepala putri sematang wayangnya.

"Kalau aku diperlukan, nggak papa," jawab Abel.

"Biar nyatu gitu, konsepnya," ucap Manda. "Nanti malam, ya?"

"Dimana?"

Nugi melangkah masuk ke dapur. Lelaki yang baru saja selesai mandi itu mengenakan kaus biru lengan panjang yang tampak kedodoran. Ia mengusapkan handuk di kepala seraya menatap Manda dengan datar.

Manda mengangkat alis. "Mau ikut?"

"Dimana?" ulang Nugi singkat.

"Di rumah aja. Ntar malam. Jadi, mau ikut? Masukan lo pasti jadi pertimbangan buat gue."

"Nggak bisa. Gue ada klien," ucap Nugi yang melangkah ke lantai dua.

"Terus tadi kenapa tanya-tanya?"

"Cuma pengen tahu."

Manda menatap punggung Nugi dengan kesal. "Nanti jangan pulang malam-malam!"

"Oke."

Manda yang sudah siap beradu argumen, langsung berhenti.

"Ajaib sekali," gumam Manda.

Lelaki itu menoleh kembali pada Abel sambil tersenyum kecil. Pria yang sudah siap dengan kemejanya itu mengamati hasil diskusi mereka pagi tadi.

"Akhirnya kita mulai ngerjain packaging-nya. Thank you for your hard work," ujar Manda lega.

"Sama-sama," gumam Abel pelan. Gadis itu kembali menyemprotkan air ke pot-pot kecil berisi tanaman herbs yang ada di jendela dapur.

"Papa berangkat dulu, ya. Jadi anak baik buat Mama." Pria itu mengecup puncak kepala Talita, lalu naik ke lantai dua. "Yang! Mau pamitan!"

Talita masih sibuk menikmati potongan pepayanya. Abel memutuskan untuk menyudahi kegiatannya pagi ini, lalu meraih ponselnya sambil bermain-main dengan tangan Talita.

"Mbak," sapa Abel pada Ratri di seberang sana. "Gimana keadaan Papa?"

"Bapak baik, Mbak," jawab Ratri dengan nada yang tergesa. "Barusan habis makan sama Ibu."

Abel tersenyum kecil. Ia hendak bertanya tentang nasib lukisan yang pernah dibelinya beberapa hari lalu untuk Windu, namun lebih baik mengurungkan niatnya.

"Mama?"

"Ibu juga baik. Setiap hari semangat pergi ke pabrik."

"Hmm...Mbak Jani nikah kapan?"

"Oh...Mbak Jani--udah pisah sama Mas Yudhis."

"Pisah?" Abel terkejut. "Kenapa?"

"Nganu--itu...saya juga kurang tahu, Mbak. Baru beberapa malam lalu, mereka bertengkar di rumah sini. Lalu Mbak Jani ngancam kalau mau putus. Maksud saya, kan udah biasa, Mbak Jani marah terus ngancem-ngancem gitu. Tapi Mas Yudhis selalu nggak mau. Cuma, yang ini disanggupi Mas Yudhis."

Tubuh Abel mendingin tanpa sebab.

"Padahal mereka udah tunangan, udah ngebahas banyak hal tentang pernikahan juga. Bu Mara juga udah persiapan banyak hal. Tapi--Ya Bu!" Suara Ratri berubah menjadi panik. "Saya tutup, Mbak!"

Colour Palette [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang