Semburat jingga nyaris binasa di atas sana. Namun perkebunan karet yang terletak di belakang sekolah itu, tampak riuh oleh suara segelintir siswa.
"Lo di sini aja sampai malam. Ah...nggak usah pulang ajalah, nggak ada yang nunggu lo, juga."
Seorang remaja merebut paksa tasnya. "Pinjem cutter lo. Jijik banget gue lihat tas buluk kayak gini."
Terikat di pohon, ia tidak mampu melakukan apa-apa selain melihat tasnya dikoyak dengan beringas. Gadis itu hanya bisa menggigit bibir dengan air mata yang mulai terbit. Berteriak pun tidak ada gunanya. Lelaki yang tertawa di sana itu, akan semakin tertawa mendengar teriakan Abel.
"Apaan ini?" sahut remaja perempuan yang meminjamkan cutter-nya.
"Wah...rajin amat," ucap lelaki itu. "Tapi nggak ada gunanya."
Dan ia, menginjak buku-buku itu hingga robek di sana-sini. Bukannya berhenti, anak-anak lain justru mengikutinya. Kepuasan besar tercipta di wajahnya. Ia menoleh pada Abel dengan senyum miring. Tatapan tajam itu terasa membakar.
"Besok lagi, jangan lewat di depan gue. Gue jijik sama anak haram macam lo," bisiknya dingin sebelum berbalik meninggalkan Abel. Tasnya dilemparkan begitu saja sebelum anak-anak lain mengikuti lelaki itu.
Abel menggigit bibirnya sendiri hingga berdarah, namun ia tidak berhasil menahan air mata kali ini. Gadis itu menangis dalam diam. Tali pramuka yang melilit pergelangan tangannya kini mulai terasa sakit. Ia berusaha melepaskan diri dari simpul itu, namun sia-sia. Berjam-jam Abel berdiri di sana hingga lututnya terasa gemetar. Tubuhnya lunglai, namun kekangan di tangan membuatnya tetap berdiri. Wajahnya menunduk, membuat rambut panjangnya yang sudah kusut kini tambah kusut kena keringat.
Suara binatang malam mulai terdengar tanpa wujud. Angin bersiul melewati jajaran pohon karet, mengirim dingin yang membekukan. Tanpa cahaya, Abel bahkan tidak mampu membedakan apakah dia memejamkan mata atau tidak. Abel sudah pasrah jika dia baru akan ditemukan esok pagi oleh para petani karet. Namun, Pak Abid menemukannya lebih dulu.
Sensasi dingin itu menyentak kesadarannya hingga Abel membuka mata. Kamarnya masih terang benderang. Laptopnya terbuka dalam mode sleep. Rupanya, ia tertidur sesaat setelah menyelesaikan sesi konsultasi dengan klien. Abel mengangkat pipi dari buku sketsa yang terbuka, dan menyadari jika ia masih menggenggam pensil.
Kegelisahan akan permasalahnya dengan Arvin mengganggu pola tidurnya. Abel nyaris tidak bisa tidur dengan nyenyak sejak hari itu. Belum lagi, kalimat tidak tahu diri yang ia katakan pada Nugi membuat pikirannya tambah ruwet.
Abel mengacak rambutnya dan mengerang putus asa. "Gue gila, gue pasti udah gila! Gimana bisa?? Dia Nugi, Bel! Lo beneran mau ngurung diri sama dia? Udah lupa, apa?"
Gadis berkamisol merah marun itu mengambil air minum sebelum kembali ke meja kerjanya. Ia memutar leher, berusaha mengusir pegal dari sana. Jam dinding menunjukkan pukul setengah lima pagi. Menekuk lututnya di atas kursi, gadis itu menyesap minumannya perlahan.
Mimpi yang baru saja ia alami cukup mengganggu. Abel melirik pergelangan tangannya, dengan enggan mengingat lecet melingkar yang tercipta di sana setelah kejadian waktu itu. Ia ingat, yang merawat lukanya adalah Pak Abid dan asisten rumah tangga yang lain. Mara tidak bertanya satu katapun mengapa Abel pulang larut malam dalam keadaan berantakan.
"Tawaran lo, masih berlaku?"
Nugi langsung menatapnya kala itu, membuat Abel tesadar.
"Nggak...lupain. Kita bahas Comma Cafe aja," ucap Abel buru-buru, gemas pada dirinya sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Colour Palette [Published]
ChickLitKetika Abel tidak bisa menyebutkan nama-nama rimpang dengan benar, Abel sadar dirinya bukanlah menantu idaman Leah. Tapi, bukankah cinta selalu tentang perjuangan? Setelah kekurangan-kekurangan yang ia miliki, ia tidak bisa membiarkan kekurangan...