40 | Comma

11.7K 1.7K 667
                                    

"Mas Saka--JAHAT!"

Teriakan Nandini membuat Abel mendongak. Nandini berdiri di lorong dengan wajah berantakan. Saka melepas helmnya dan menatap marah pada Nandini.

"Ngapain ikut-ikutan si Jagad? Lo tahu dia kayak apa, kan? Bisa-bisa lo diajak ke klub terus dikasih minum yang bukan-bukan sama dia!" ucap Saka emosi.

"Bang Jagad cuma nawarin kerja di club, bukan yang--aneh-aneh. Aku udah punya surat perjanjian bermaterai." Nandini berbicara di tengah isakannya. "Aku butuh uang banyak, Bang. Semua tabunganku dicuri, laptopku dicuri, aku nggak bisa ngerjain proyek apa pun!"

"Lo bisa ke sini pinjem punya gue! Bukannya malah ngikutin Jagad!" sergah Saka. "Gue nggak percaya sama surat bermaterai kalau udah soal Jagad, Din. Dia punya rekam jejak gelap yang lo nggak tahu!"

Nandini menatap Saka dengan bibir gemetar, lalu memungut sepasang sandal hingga Saka waspada.

"Aku--butuh duit buat praktikum!" Nandini melempari Saka dengan sandal. "Aku ngumpulin itu udah lama. Itu juga--buat modal usaha Bapak--terus uangku dicuri gitu aja terus Mas Saka ngelarang aku buat kerja--Mas Saka JAHAT!"

Nandini melemparkan semua alas kaki dengan membabi buta sampai Abel mengangkat laptopnya.

"MAS SAKA JAHAT!" Nandini berjongkok dan menangis keras-keras hingga Alwa menyambanginya dengan cemas.

Abel baru akan melerai mereka berdua ketika Yasa muncul dan berkacak pinggang.

"Guys, stop!" Suara Yasa menggelegar. "Din, kapan-kapan tanya sama Rafa tentang Jagad. Saka benar, banyak yang nggak lo tahu tentang Jagad. Untuk sementara ini lo pakai laptop Dhalung dulu buat kerja. Dan lo, Ka...beli cheesetea dulu sana! Sekalian gue titip! Lo juga ngapain deh pakai emosi segala, ck!"

Saka berdecak pelan, lalu menghela napas dalam.

"Nandini kasih laptop, Yas. Gue beli cheesetea dulu," ucap Saka dengan suara yang lebih terkontrol. Ia berjalan ke depan, dan mengaduh lirih kala punggungnya terkena lemparan sandal.

"Udah, udah..." Yasa menghentikan Nandini. "Duduk situ bareng Alwa. Gue ambilin laptop dulu."

Yasa memberikan satu laptop lawas pada Nandini, lalu duduk di samping Abel.

"Tragedi kapal Sewol." Gumaman Yasa membuat Abel melepaskan tatapan dari Nandini. "Ngapain lo cari artikel tentang itu?"

"Gue cari-cari artikel tentang rasa bersalah, terus kebawa ke artikel tentang kapal Sewol," jawab Abel. "Beberapa orang yang selamat pilih bunuh diri. Menurutmu kenapa, Yas?"

Kening Yasa semakin mengerut. "Kenapa tiba-tiba ngebahas tentang hal beginian?"

"Tapi gue harus berhenti...karena gue nggak bisa. Gue nggak bisa--Demi Tuhan, gue yang udah bunuh Ganis, dan gue mau seneng-seneng gitu aja? Kurang jahat apa lagi gue? Kurang bajingan apa lagi--"

Mata Abel memanas. Selama hidupnya, Abel berteman akrab dengan rasa bersalah. Ia bahkan merasa sangat bersalah telah lahir ke dunia dan merusak keluarga Permadi. Dia juga merasa sangat bersalah jika Jani tidak bahagia.

Lalu, bagaimana dengan Nugi yang nyata-nyata kehilangan seseorang karena kesalahannya?

Ketika Nugi memeluknya sore itu, pada akhirnya Abel tahu setebal apa tembok yang memenjarakan pikiran Nugi. Sekuat apa pun Abel menariknya, semua usahanya akan sia-sia jika Nugi sudah berkata 'Itu nggak adil buat Ganis'. Gadis itu mati kutu, dan tidak mampu memberi argumen lainnya. Nugi seperti seseorang yang terperangkap dalam bola besi. Tebal, kuat, tanpa cela. Dia perlu usaha dan kesabaran ekstra demi memecah bola besi itu.

Colour Palette [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang