36 | Alan, Alasan dan Rasa Aman

9.9K 1.5K 541
                                    

"Bel," panggil Manda. "Ada apa antara lo sama Nugi? Interaksi kalian canggung banget akhir-akhir ini."

Abel memalingkan wajah pada pohon kamboja dan menggeleng pelan. "Nggak ada apa-apa."

"Dia nggak ada ngomong apa-apa sama lo?" tanya Manda lagi. "May be, dia pernah cerita tentang sesuatu?"

"Memang dia harus cerita apa sama aku, Mas?"

"Ah..." Manda mengerjap seakan tersadar. "Nggak. Nggak papa."

Lelaki itu menyugar rambutnya dengan kasar, lalu mendesah berat.

"Kami udah berusaha cari kesempatan, iya kan?" gumam Manda tiba-tiba. Lelaki itu tampak menerawang jauh. "Tapi ternyata kesempatan itu lewat begitu saja. Ya sudah, mau gimana juga? Nugi juga sepertinya nggak pernah mau kemana-mana."

Itu, adalah percakapan terakhirnya dengan Manda tiga hari lalu. Saat mereka membahas tentang final touch dan Manda melunasi payment, mereka mengobrol seperti biasa di taman kamboja.

Abel menghela napas kala percakapan itu berputar di memori. Berulang kali Abel memikirkannya, dia tetap tidak mengerti tentang 'kesempatan' yang Manda katakan. Namun kalimat terakhir itu, Abel merasa memahaminya.

Abel mencicipi masakannya sendiri, lalu menambahkan garam ketika dirasa kurang asin. Dia memasak sup dan tahu goreng untuk pagi ini dengan catatan resep sebagai rujukannya. Catatan resep itu adalah semua resep yang pernah dimasak di rumah Manda. Abel tersenyum kecil ketika mengingat momen saat Mita selalu berbaik hati mengoreksi resep itu untuk Abel. Tidak bisa dipungkiri, rasa takut untuk jajan di luar itu masih menghantui Abel. Dia tidak mau sakit lagi seperti dulu. Itu akan membuat banyak pihak kerepotan.

Dan berpotensi menjerumuskan Abel dalam pilinan kisah yang tidak pernah mampu dia prediksi. Tinggal di rumah Manda dan bertemu Nugi setiap hari, misalnya.

Abel mengetuk dahinya sendiri demi menghentikan pikiran tentang Nugi. Ia menyiapkan sarapan dan membawanya ke meja makan, lalu kaget setengah mati ketika sesuatu terjatuh di teras depan. Dengan jantung berdentum kencang, Abel nyaris berlari ke kamar ketika gerungan kucing terdengar olehnya.

Abel menggigit bibirnya, berusaha menetralisir dentuman jantung meskipun kakinya masih gemetar. Gadis itu kembali memeriksa pintu depan, memastikan pintu itu masih terkunci dan dalam kondisi baik.

Sebab ketika ia pulang ke rumah tiga hari lalu, pintu rumahnya dalam keadaan tidak terkunci dengan lubang kunci yang terkoyak. Hal yang paling mengerikan adalah, almari pakaiannya berantakan dan seluruh pakaian berhamburan ke luar. Seluruh pakaiannya. Ketika Abel menyadari apa yang hilang, seluruh tubuhnya merinding hebat.

Abel tahu bahwa begitu melangkah keluar dari rumah Manda, artinya ia juga meninggalkan seluruh rasa aman paling sempurna yang pernah ia punya. Dengan Alan yang menerornya hampir setiap hari, Abel bahkan merasa was-was masuk ke rumahnya sendiri. Dia takut, jujur saja.

Tapi, memangnya Abel mau kemana lagi? Rumah ini adalah satu-satunya tempat yang ia punya. Dia tidak mungkin pulang ke rumah Permadi atau kembali ke rumah Manda. Dengan Nugi yang begitu, Abel akan merasa sangat tidak nyaman. Dia juga tidak mungkin tinggal di base Dhalung setiap hari karena pasti akan merepotkan Saka. Pada akhirnya, Abel memberanikan diri tinggal di rumah setelah siangnya meminta tukang kunci mengganti kunci pintu rumahnya.

Abel mengintip dari jendela yang tertutup rapat, lalu mendesah lega ketika melihat gagang pelnya terjatuh ke lantai. Sepertinya kucing tetangga tidak sengaja menyenggolnya tadi.

Abel kembali ke meja makan sambil menghadap tabletnya dan menyortir tawaran kerja yang masuk ke email. Ia hendak meraih suapan pertama ketika pesan Mita masuk. Ibu muda itu mengiriminya foto Talita.

Colour Palette [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang