10 | Rahasia Calon Mertua

8.3K 1.3K 290
                                    

"Ajak Dira sekalian. Antar pulang, Vin!"

Dan begitulah alasan mengapa Indira juga ada di mobil ketika Arvin sedang mengantarnya pulang. Gadis itu duduk di sebelah Abel, tampak tidak selera berbicara karena lelah sekali. Masih tersisa warna kuning di jemari Indira akibat dari mengupas kunyit. Sesuatu yang entah bagaimana, membuat Abel merasa iri. Tidak bisa dipungkiri, Indira memang begitu jago di dapur. Gadis muda ini bisa meng-handle begitu banyak bumbu, menggerus bumbu menggunakan ulekan tanpa jemari tangan jadi bergelembung, dan menghadapi beberapa masakan sekaligus. Dia sama sekali tidak kesulitan menyeimbangkan tempo memasak dengan Leah dan Vera. Tanpa banyak bertanya, gadis itu tahu apa yang harus dilakukannya.

Abel? Berakhir menjadi si tukang cuci alat-alat masak dan cuci piring.

"Udah sampai? Mampi dulu Mas? Mbak?" Indira bergumam ketika Arvin berhenti di depan sebuah rumah.

"Kapan-kapan aja, Ra. Salam buat Tante," balas Arvin tersenyum kecil. Indira membalasnya dengan lambaian, lalu menghilang di balik pagar.

Arvin meminta Abel pindah tempat duduk dengan dagunya. Mematuhi Arvin, Abel pindah ke depan. Lalu Arvin kembali melajukan mobilnya dalam diam. Gadis itu melirik Arvin, yang tampaknya masih betah bungkam untuk seratus tahun ke depan.

"Sorry," ucap Abel pelan, berusaha memecah atmosfer dingin yang menguasai.

"Buat?"

"Bikin kamu marah karena...waktu itu aku ke Dhalung," gumam Abel.

"Apa gunanya kamu minta maaf, Abel? Memangnya kalau aku memaafkan kamu, kamu nggak bakal balik ke Dhalung lagi? Nggak, kan? Kamu akan tetap ngurusi Dhalung dan aktivitas desainmu itu nggak peduli berapa kali aku ngelarangnya. Jadi, nggak perlu minta maaf."

Abel menggigit bibir kala matanya memanas.

"Sebenarnya, apa yang bikin kamu keberatan berhenti jadi desainer?" tanya Arvin kemudian. "Jatah dari aku kurang, ya? Kamu ada pengeluaran lain yang belum aku tahu?"

Abel menggeleng. Demi apapun, jatah bulanan yang diberikan Arvin untuknya sangat lebih dari cukup.

"Aku cuma nggak ngerasa aman kalau aku berhenti," ucap Abel akhirnya. "Aku udah terbiasa mandiri, Vin. Aku nggak mau kehilangan itu."

"Aku nggak pernah melarang kamu buat bekerja, Sabela. Aku bahkan ngedukung kamu kalau kamu mau kerja. Tapi jangan kerja ala kadarnya," ucap Arvin dingin. "Fokus sama ujian CPNS. Itu kerjaan yang paling aman buatmu. Daripada kamu kerja nggak jelas kayak gini, nggak ada yang menjamin keberlangsungan karirmu, nggak ada yang bisa menjamin masa depanmu. Kamu bisa kehilangan pekerjaanmu sewaktu-waktu."

"Haruskah aku bergantung sama orang lain buat menjamin masa depanku sendiri?" tanya Abel putus asa. "Jaminan masa depan nggak hanya bisa diciptakan dengan pemasukan aktif secara teratur kan, Vin? Kita bisa menjamin masa depan dengan investasi, dengan passive income--"

"Itu lagi yang kamu jadikan alasan," balas Arvin dingin. "Memangnya kamu yakin rencanamu bisa jalan sesuai yang kamu mau?"

"Ya," bisik Abel pelan.

Arvin mendengkus. "Bukannya itu terdengar terlalu membesar-besarkan?"

Abel terdiam kali ini. Gadis itu mulai menggigiti bibirnya.

"Nggak mau ngelepas Dhalung? Kamu perlu fokus belajar."

"Apa...aku harus jadi PNS agar bisa diterima di keluargamu?" tanya Abel pada akhirnya.

Bibir Arvin menipis. Lelaki itu mengusap wajah kasar sebelum melanjutkan.

"Ada alasan kenapa butuh waktu lama sebelum aku bawa kamu ke hadapan Mama," gumam Arvin. "Karena aku tahu, Mama akan menilai kamu lewat bibit, bebet, bobot. Aku takut respon Mama. Dan benar kan tebakanku? Waktu tahu siapa kamu dan apa yang pernah terjadi sama keluargamu, Mama langsung menolak usulanku buat meminang kamu."

Colour Palette [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang