39 | Brownies Siang Hari

10.5K 1.6K 905
                                    

"Kenapa, Mbak?"

Pada akhirnya, Abel bertanya pada Mita yang selalu mencuri pandang padanya sejak tadi. Ibu muda itu mengangkat semangkuk sup ke meja makan, kemudian memandang Abel yang meletakkan lauk pauk di meja.

"Mbak takut. Kata dokter kami harus mewanti-wanti adanya gejala PTSD. Kamu setenang ini, Mbak takut sebenarnya kamu merasa sesuatu tapi kamu tahan, Bel," ucapnya cemas.

"Oh, itu," gumam Abel. "Aku beneran nggak papa, Mbak."

"Beneran? Kalau masih nggak nyaman, kita perlu ngomong sama Raka. Siapa tahu nanti bisa ditunda," ucap Mita lekat-lekat.

Abel menggeleng. "Lebih cepat lebih baik."

Mita menghembuskan napas lelah, namun ia membelai lengan Abel. "Mbak juga di sana. Ada Nugi dan Mas Manda juga. Kami semua di sana. Dan kamu benar, lebih cepat lebih baik."

Wanita itu tersenyum lembut dan kembali ke dapur. Nanti sore, akan dilaksanakan rekonstruksi kejadian di rumahnya. Kata Raka, Alan menolak. Tapi tidak masalah. Semua bukti sudah kuat dengan adanya sidik jari Alan di mana-mana. Mereka hanya perlu satu dua hal lagi untuk memperlengkap bukti.

Bicara tentang trauma, satu-satunya hal yang mengganggu dari kejadian itu adalah kemunculan orang yang tiba-tiba. Abel belum bisa mendapat kejutan. Mendengar langkah kaki saja dia bisa begitu ketakutan.

Tapi tentang apa yang terjadi di dalam kamar itu, Abel tidak bisa mengingatnya dengan baik. Seluruh inderanya tidak bekerja dengan normal, fokusnya teraduk-aduk, dan memorinya terpotong-potong. Belum lagi monster yang mengamuk di dalam tubuhnya kala itu, membuat Abel benar-benar kewalahan dan tidak mampu mengawasi gerak-gerik Alan. Tahu-tahu saja, ia sudah berada di rumah sakit.

Sejujurnya, itu justru hal baik. Dia tahu dia pasti akan jauh lebih ketakutan daripada sekarang jika dia bisa mengingat setiap detail kejadian itu.

"Nugi mana?" tanya Mita yang sudah melepas apronnya. "Udah pulang, kan?"

Abel mengangguk. "Tadi mandi."

"Mandinya lama banget. Ini makan malam udah matang lho, Bel." ucap Mita. " Gi! Ayo makan!"

Tidak ada jawaban. Mita meletakkan apronnya dan berjalan ke atas. Sementara Abel duduk untuk menguasai detak jantungnya sendiri.

"Gue takut kalau gue nggak bisa berhenti. Rasa bersalah gue semakin kuat dan berat, Abel."

Abel mengusap pelipisnya. Hatinya mencelus kala mengingat kejadian satu jam lalu. Di tengah ciuman mereka, tiba-tiba saja Nugi menjauhkan diri. Ia menatap Abel dalam diam meskipun berbagai emosi berkecamuk di manik kelam itu.

Abel tahu. Gadis itu mengerti. Hanya saja, dia tidak menyukainya.

Pada Nugi, ia tidak pernah tahu sejak kapan rasa ini muncul. Dia tidak pernah tahu sejak kapan Nugi berhasil menumbuhkan harapan yang mati ketika Arvin meninggalkannya. Yang ia tahu, manik kelam itu tidak lagi menakutkan. Yang dia tahu, suaranya tidak lagi mengerikan. Yang ia tahu, sosoknya berubah menjadi tempat yang menawarkan rasa aman, nyaman dan penuh kehangatan. Gadis itu menepuk-nepuk pipinya, berusaha mengusir panas yang mulai merambat di sana. 

"Kenapa lari-lari begitu?" Suara Manda membuat Abel tersadar.

Manda baru saja memasuki ruangan dengan membawa kunci inggris. Benar saja, Mita menuruni tangga dengan tergesa. 

"Nugi demam," jawab Mita dengan cemas.

Manda mengerutkan kening. "Demam? Setelah dua tahun tidur di bawah jembatan sehat-sehat aja, sekarang dia bisa demam?!"

Mita berdecak pelan. "Abel, memang tadi dia sakit--eh, kenapa, Bel?"

Abel tersadar, lalu segera menurunkan tangannya dari bibir. Manda mengangkat alis.

Colour Palette [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang