16 | Si Gadis dan Kesalahannya

8.5K 1.4K 649
                                    

"Kadang gue ngerasa Abel tertekan secara psikologis, tapi dia nggak sadar. Alih-alih ngedengerin Yasa, dia selalu mencari alasan untuk membenarkan tindakan Arvin. Lo tahu, dia sampai belajar masak karena tuntutan dari ibu Arvin. Anak itu bahkan sampai tertekan gara-gara gagal PNS. Padahal PNS bukan impiannya, itu permintaan Arvin dan ibunya. Dia bahkan...menahan diri buat menerima kerja remote karena selalu mempertimbangkan Arvin."

Bisik-bisik Saka dan Nugi terlalu mengganggu hingga Abel terbangun. Abel mendengarkan seluruh percakapan dua lelaki itu dalam diam, terlalu lelah untuk menginterupsi. Seperti yang selalu Abel duga, Saka tahu lebih banyak daripada yang selama ini lelaki itu perlihatkan.

Tapi salahnya di mana? Bukankah seseorang tidak boleh egois dalam sebuah hubungan? Abel sudah bersikap seperti yang seharusnya. Menuruti segala permintaan Arvin agar hubungan mereka bisa berjalan dengan baik. Lalu, salahnya di mana?

Abel memejamkan mata. Untuk kesekian kalinya pada hari ini, dirinya menghela napas dalam sekali.

Terkadang, ini semua masih terasa seperti mimpi. Sulit mempercayai Arvin pergi darinya setelah apa yang mereka lalui bersama. Begitu tidak masuk akal hingga Abel bangun dan memeriksa pesan-pesan dari Arvin. Sebab, dari seluruh sakit yang pernah ia punya, patah hati belum termasuk di antaranya.

Namun jika teringat foto Arvin dan Indira di postingan terbaru akun instagram Arvin, seluruh kesadarannya selalu kembali ke bumi. Dan Abel, harus tahu jika semua hal yang terjadi beberapa hari lalu adalah nyata.

Arvin benar-benar telah pergi.

Karena kekurang-kekurangan gue.

Mata Abel memanas dengan cepat. Gadis itu memejamkan mata sejenak, berusaha meredam teriakan-teriakan dalam diri yang menghujat seluruh kekurangannya hingga Arvin memutuskan untuk pergi.

Apa sih yang lo bisa, Bel? Lo napas aja bikin Mara sama Jani sakit hati. Kapan lo berhenti bikin susah orang lain? Bahkan Nugi sama Saka aja kemarin kerepotan gara-gara lo, 'kan?

"Mbak, ada masukan?"

Abel mengerjapkan mata secepat mungkin, berusaha terlihat baik-baik saja. Alwa menunjukkan worksheet miliknya.

"Ini proyek apa?" tanya Abel mengerutkan kening.

"Aku ikut lomba redesain logo buat Pemda," jawabnya. "Dia minta bentuk emblem."

Kerutan Abel tambah dalam. "Kamu nggak merasa ini kurang space? Mepet banget antara tulisan sama outerline-nya. Bayangin nanti kalau dicetak, tulisannya jadi nggak jelas. Apalagi kalau dicetak dalam bentuk badge. Plat merah sering cetak logo buat badge, 'kan?"

Alwa menjentikkan jari. "Nah, kan aku mikir juga gitu. Tapi klien ngotot minta gambar ikon kotanya sebesar ini. Padahal kalau aku kecilin, itu masih kelihatan dan aku masih punya space buat ngerapihin hurufnya. Menurut Mbak, kalau aku bikin dua versi gimana?"

Abel mengangguk. "Nggak papa, Al. Nanti jelasin sama mereka. Kadang sempurna di versi digital belum tentu sempurna di versi cetak."

Alwa mengangguk dengan ceria kali ini. Ia kembali menenteng laptopnya dan duduk di pojok sana.

Satu hal yang Abel pelajari sejak lama, bahwa waktu tetap berputar tanpa peduli sebanyak apa rasa sakit yang diterima manusia. Tidak peduli bahwa Abel ingin sekali berhenti untuk menenangkan diri, klien-kliennya tetap meminta revisi, tetap memprotes kurang ini kurang itu, tetap menuntut profesionalismenya dalam bekerja.

Abel mengembalikan fokus kala salah satu klien baru saja mengiriminya poin-poin revisi mereka. Proyek klien dari Kanada ini cukup besar, menyangkut re-branding dari salah satu perusahaan minuman kemasan yang cukup populer di sana. Ia meminta bantuan Abel untuk mengganti logo mereka tanpa menghilangkan 'identitas' perusahaan, mendesain kartu nama, flyer, kop surat hingga banner untuk dipasang di berbagai media promosi.

Colour Palette [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang