28 | Teras

8.5K 1.5K 396
                                    

"Pulang, Bel? Rumah lo kosong."

Abel mengerutkan kening. "Ngapain ke rumah gue?"

"Nganterin oleh-oleh dari Kinan. Lo jarang ke Dhalung," tukas Yasa. "Jadi, lo pulang ya? Balik kapan?"

Abel mengulurkan tangan pada Talita yang merangkak ke arahnya. "Gue di rumah...teman."

Mita mengangkat alis, sementara Abel meringis.

"Siapa?" tanya Yasa lagi. "Cewek Dhalung?"

"Klien," jawab Abel pada akhirnya.

"KLIEN?" seru Yasa hingga Talita pun mengernyit. "Lo...nginep di rumah klien? Kenapa bisa? Siapa? Klien yang mana?"

"Klien yang..." Abel menggaruk lehernya dengan bingung. "adalah pokoknya. Kemarin gue sakit, dan gue udah keburu taken kontrak sama dia. Jadi dia kasih tawaran buat gue nginep di rumah dia agar proyek tetap jalan."

"Bel, lo sadar nggak kalau kalimat lo ini absurd?" bisik Yasa masih tidak percaya. "Sejak kapan lo kasih jaminan sama klien dengan nginep di rumahnya?"

Abel menggigit bibirnya dengan gugup.

"Nggak lama, kok. Seperlunya aja, terus gue balik."

"Cowok?" tukas Yasa tanpa basa-basi. "Klien lo cowok?"

"Ng---gue nginep di rumah keluarganya. Gue tinggal sama istri dan anaknya."

"Seriously, Sabela. Saka tahu?"

"Nggak." Abel menggigit bibirnya lagi. "Tapi dia kenal kliennya. Kalau dia tanya, gue nginep di rumah Nugi. Sama keluarganya. Jangan bilang Nugi aja."

"Nugi." Yasa mengulangi. "Itu nama cowok."

Abel memutar bola mata, membiarkan Talita yang memanjat kakinya demi meraih bandana di kepala Abel.

Terdengar hembusan napas dari seberang sana. "Oke, baik. Gue nggak akan cerewet tentang ini. Lo udah dewasa dan gue percaya sama lo. Dan, maaf kemarin gue nggak bisa ngejenguk waktu lo di RS. Lo beneran masih kambuhan?"

"Thank you, Yas. Dan nggak...terlalu. Cuma gue belum bisa ke base karena gue mau istirahat dulu." Abel berusaha menjelaskan. "Gue juga off dari Madda buat sementara waktu."

"Sure. Paling nggak, setelah ini gue punya jawaban kalau anak-anak pada nanyain lo mulu. Ya udah, gue tutup."

Abel menatap ponselnya beberapa saat, lalu mengusapkan wajah di perut Talita. Bayi kecil yang sedang bermain dengan bandana itu terkekeh geli. Tangannya berusaha menjauhkan wajah Abel, namun Abel menolak. Sebab, dia baru tahu jika wangi bayi bisa membuatnya kecanduan.

"Teman, ya?" tanya Mita kemudian.

Abel mengangguk. "Dari komunitas."

"Oh..." Mita mengangguk-angguk. Wanita itu membenahi kacamatanya dan kembali menjahit baju Talita sambil bersenandung pelan. Sementara Abel, meraih Talita di pangkuan dan memandangi langit.

Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam. Mereka bertiga duduk di teras, bertukar cerita hingga Yasa menelfonnya. Manda sedang di Athlas, dan Nugi berada entah kemana.

"Gue beneran nggak marah, Bel. So, just stay here. Main-main sama Lita, ngebahas proyek sama Manda, ngobrol sama Mbak Mita."

Abel menempelkan pipinya di puncak kepala Talita, dengan enggan mengingat ekspresi Nugi ketika mengatakannya. Dia memang tidak melihat kemarahan di mata Nugi, namun melihat bagaimana sikap lelaki itu beberapa hari lalu, membuat Abel merasa sangat tidak nyaman.

Colour Palette [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang