5 | Maha Kekacauan

9.4K 1.4K 86
                                    

"Gue..." dia berdeham, "...ke belakang dulu."

Ketika punggung lebar itu meghilang di kerumunan, Abel tersadar. Dia masih bisa merasakan naluri untuk melarikan diri. Namun kewarasan Abel berhasil menahannya. Lelaki itu tidak akan berani menyakitinya di sini. Akan ada banyak saksi mata.

Profesional, Abel. Profesional

Lelaki itu kembali tidak lama kemudian. Ia tersenyum ke arah Abel dengan kecanggungan yang masih terbaca. "Gimana kalau kita ke atas aja? Yang lebih privat. I mean, ini urusan bisnis."

Abel menggeleng. "Di sini aja udah cukup."

Lelaki itu terkekeh dengan kikuk. "Iya juga, lo pasti nggak nyaman kalau cuma sama gue...tapi, gue nggak ada niat...I mean, to treat you better, kita bisa ambil privat dining di atas."

Demi ketidakpercayaannya akan kalimat treat you better, Abel kembali menggeleng. Gadis itu mengulurkan sebuah map pada pemuda di hadapannya.

"Kontrak kerja," ucap Abel kala pemuda itu menerimanya dengan tatapan ingin tahu. "Bisa dibaca dulu, bisa tanya kalau kurang jelas."

Ia membaca lembar itu beberapa saat, lalu menjentikkan jemarinya. "Gimana kalau kita makan dulu?"

Dan kembali, ia meninggalkan Abel.

Rileks, Abel. Kalau dia ngejahatin lo di sini, lo bisa teriak sekenceng-kencengnya.

Tak perlu waktu lama, ia kembali dengan dua nampan di tangan. Sosoknya yang keluar dari dapur seraya membawa hidangan membuat Abel menatapnya dengan penuh antisipasi. Lelaki ini punya seribu satu cara mengubah sesuatu yang tadinya biasa saja menjadi bencana, terutama untuk Abel. Maka, jika lelaki ini berniat menumpahkan makanan di atas kepala Abel, Abel akan lari saat itu juga.

Namun dengan halus, pemuda itu meletakkan satu persatu hidangan di hadapan Abel. Seolah sudah terbiasa, dia bahkan menuangkan air putih di gelas Abel dengan begitu rapi sebelum berbalik pergi.

Abel perlu mencerna kejadian barusan. Ia mengamati sepiring fish and chips di hadapannya, berusaha menemukan sesuatu yang seharusnya tidak ada di sana. Semacam jarum, isi straples, plastik yang diselipkan di tengah, bau telur busuk...

"Aman, Bel."

Abel menegakkan diri kala lelaki itu kembali. Ia duduk di hadapan Abel, dan menyandarkan diri di punggung kursi. Keduanya terdiam beberapa saat, lalu si lelaki berdecak gugup.

"Ayo makan dulu, baru ngurusi bisnis," ucapnya. "Nanti, lo harus ngerasain dessert-nya. Mango Cheesecake di sini nggak ada duanya."

Abel masih menatap pemuda itu tanpa berkedip. Sebab, sulit membayangkan seorang Mahawisnu Rahagi berbuat begitu baik padanya.

Seperti namanya, Nugi adalah 'maha' kekacauan di sekolah--dan di hidup Abel. Nugi adalah Jani versi lelaki. Pemuda itu senang melihatnya menderita. Dan Nugi, sering berkolaborasi bersama Jani untuk mengubah hari Abel menjadi neraka. Menyembunyikan sepatunya, membuang tasnya ke got, membakar kaus olahraganya...

"Jadi, lo kerja jadi desainer?" tanya Nugi ketika keheningan mulai terasa canggung.

Abel mengangguk, dan memutuskan menyantap makanannya. Toh kalau ada racun di dalam makanannya, ada banyak saksi di sekitar Abel.

Sungguh, seharusnya bukan seperti ini pertemuannya dengan klien. Seharusnya, Abel memancing sang klien untuk bercerita tentang usahanya agar dia bisa mendapat gambaran sedetail mungkin tentang desain yang harus ia kerjakan. Sepanjang kiprahnya menghadapi klien, Abel selalu mengusahakan komunikasi yang baik. Namun kali ini, suaranya sirna.

Colour Palette [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang