21 | Rencana Diam-Diam

8.9K 1.4K 263
                                    

"Berapa logo yang dia mau?"

"Enam."

"Enam," gumam Kinan menuliskannya di catatan. "Kolombia, Jawa, Toraja, Flores, terus apa tadi?"

"Gayo, Jamaika," sambung Abel membaca catatan di ponselnya. Gadis yang sore ini memakai kaus putih polos yang dilapisi kemeja jeans itu menatap Kinan yang duduk di hadapannya. "Dia minta deadline satu minggu."

"Yep! Enam desain logo dalam tujuh hari," tukas Kinan tanpa mengalihkan fokus dari layar laptopnya. " Dengan semua printilan-printilan rumit yang dia minta, sebanding dong kalau kita minta kenaikan harga."

Abel meringis. Sang pemilik perkebunan tadi agaknya cukup keberatan kala Kinan menaikkan harga mereka setelah tahu seberapa banyak beban yang mereka tanggung. Tapi untung saja, beliau menyanggupinya.

"Masalahnya adalah, harga kita nggak cuma ditentukan sama jam kerja, iya kan?" celoteh Kinan yang masih terlihat emosi. "Kalau lo minta seratus logo dalam sehari, lo nggak mungkin ngebayar gue setara sama kalau lo pesan satu logo dalam satu hari. Hih! Kenapa klien terakhir gue harus begini banget, sih? Untung gue bawa lo, Bel. Ck!"

Abel menghirup coffelatte-nya dengan khidmat, mengangguk-angguk agar kemarahan Kinan sedikit mereda.

"Tapi janji, ya? Jangan ada yang tahu kalau kita rekanan." Kinan merendahkan suara seraya mengelus perutnya yang mulai membuncit. "Ini juga kepepet, Bel. Gue nggak mungkin bisa nyelesaiin ini sendirian sementara gue juga harus nyiapin berkas-berkas pindahan gue ke Kanada. David juga baru sibuk banget nyiapin rumah kami yang di sana."

Abel mengangguk untuk menenangkan Kinan. Salah satu alasan Abel tidak pernah membentuk tim adalah untuk menghindari rasa cemburu antar anggota Dhalung, terutama di kalangan junior. Setahu Abel, tidak pernah ada tim solid di dalam komunitas. Semuanya mengambil kontrak secara individu, meskipun pada prosesnya mereka saling bertanya dan saling membantu. Itu akan lebih kondusif.

"Selesai!" Kinan menyandarkan punggungnya, lalu memejamkan mata. "Ya ampun, capek banget."

"Minum." Abel menyodorkan jus mangga padanya, yang diraih Kinan dengan penuh terima kasih.  "Jadi, eksekusinya mau gimana?"

"Fifty-fifty aja, gimana? Untuk konsep awal, kita bagi dua. Nanti kalau udah mateng, kita gabungin biar bisa saling koreksi."

Abel kembali menyetujui saran Kinan.

"Tapi Bel, lo beneran ada waktu buat ini, kan?" tanya Kinan tiba-tiba.

Abel mengangguk lagi. "Proyek terakhir selesai malam ini. Jadi bisa handle yang ini."

"Oh...syukurlah." Kinan menyeruput jusnya sambil memutar-mutarkan jadi di perut. "Ah iya! Bel, lo desgraf yang pegang Comma, kan?"

"Hm. Kenapa?"

"Kapan hari gue ke sana sama David," sahut Kinan dengan mata berbinar. "Bagus, tahu Bel! Baru tiga bulan dibuka, tapi dia udah masuk di daftar rekomendasi. Beberapa kali diulas di acara televisi juga."

"Iya, aku juga pernah lihat liputannya," jawab Abel tanpa bisa menyembunyikan senyumnya. "Tapi belum pernah ke sana. Gimana menurut Mbak Kinan?"

"Apanya? Desain logonya? Makanannya?" Tatapan Kinan menjadi centil. "Atau pegawainya?"

Abel memutar bola mata. "Semuanya aja, deh."

Kinan tertawa. Ibu hamil itu membenahi ikat rambutnya sebelum menjawab. "Harus diakui, you made it perfectly. Gue suka sentuhan simpel dan youthful yang ditonjolkan. Pas sama suasana nature yang ada di sana. Ah, dan makanannya juga enak. Jujur aja, gue bukan penikmat pastry. Tapi Comma mengubah persepsi gue kalau pastry emang bisa senagih ini. David juga, suka banget sama macaron di sana. Padahal dia nggak suka manis."

Colour Palette [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang