31 | Masih Terasa Sakit

9.9K 1.5K 507
                                    

Aroma gurih seketika tercium ketika Abel membuka pintu. Sofa dan Nugi sudah menghilang dari depan kamar. Abel mengeratkan sweater, lalu menuju kamar mandi. Namun saat melewati dapur, akhirnya ia tahu tersangka yang membuat cacing-cacing di perutnya protes di hari yang masih pagi ini.

Nugi sendirian di dapur lengkap dengan apronnya. Lelaki itu tampak fokus mencincang wortel menjadi irisan yang lembut. Di atas kompor, bertengger panci yang mengepulkan uap tipis beraroma sedap di udara.

"Pagi," sapanya ketika Abel mendekat. "Bisa tidur?"

Abel mengangguk. Gadis itu mengamati Nugi beberapa saat hingga Nugi mengerutkan kening.

"Kenapa?"

Abel menatap manik kelam itu sejenak. "Bisa tidur?"

Kerutan di dahi Nugi menghilang ketika ia menatap Abel dengan datar, lalu mengangkat bahu.

"Sure. Gimana rasa badan? Masih pusing? Mual?"

Abel menggeleng singkat, lalu meneruskan langkah ke kamar mandi.

"Biar gue aja yang mati."

Abel berusaha mengusir suara itu dari otaknya. Berharap setengah mati jika suara itu benar-benar hanya ilusi di tengah pening yang menguasai. Sebab semakin Abel mengulangnya, semakin Abel bisa mengingat ekspresi dan suara Nugi ketika mengatakannya.

Tapi, Nugi pagi ini terlihat baik-baik saja.

"Mbak Mita sama Mas Manda belum pulang?"

Keluar dari kamar mandi, Abel baru sadar jika rumah terasa lebih lengang dari biasanya. Gadis itu duduk di hadapan Nugi yang sedang mencincang daun bawang kali ini.

"Mereka pulang jam satu tadi pagi, dan belum bangun," jawab Nugi tanpa mengangkat wajah. "Lo juga, Bel. Baiknya istirahat dulu sampai waktunya berangkat."

"Berangkat?" Abel mengerutkan kening. "Gue? Kemana?"

Nugi mengangkat alis. "Lo kontrol hari ini, ingat?"

Abel mengerjap, lalu memekik pelan. "Gue lupa!"

Nugi kembali mencincang daun bawangnya meskipun sesekali melirik ke arah Abel.

"Ada kabar baik tentang tambak?"

"Sementara ini fokus ke recovery kolam dulu. Perlu dipastikan kolamnya udah bersih dari bahan beracun sebelum naruh lobster di sana." Abel berdiri dan mengambil apron. "Gue bisa bantu apa?"

"Jangan macam-macam, Sabela. Lo harus istirahat."

"Pusing kalau jam segini tidur lagi," ucap Abel. "Mumpung masih masak, gue mau sekalian belajar."

Nugi memandangnya lekat, lalu mencondongkan tubuh demi memegang dahi gadis itu.

"Yakin udah baikan?"

"Ng...iya." Abel melepaskan diri. "Jadi, apa yang bisa gue bantu?"

"Duduk aja. Bikin pangsit buat Talita."

Abel baru sadar jika di hadapannya terdapat banyak sekali bahan dan alat-alat yang belum pernah Abel sentuh. Salah satunya, mesin pencetak mi. Ditilik dari jejak tepung di atas meja, sepertinya Nugi membuat kulit itu sendiri.

Nugi duduk di hadapan Abel, lalu mengambil satu lembar kulit. "Look at me. Isi, dan lipat. Caranya begini."

Abel mengikutinya, lalu mengerutkan kening. "Kenapa nggak bulat? Gue salah, ya?"

"Pelan-pelan dulu," ucap Nugi. "Begini, lalu dilipat pelan-pelan."

"Gini?"

"Better."

Colour Palette [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang