"Lembur, padahal aku ada rencana main ke tempatmu seharian."
Ucapan kecewa Arvin terdengar dari seberang sambungan.
"Nggak papa. Masih ada minggu depan, kan?" Panggilan Arvin pukul enam pagi membuatnya beranjak dari kasur.
"Iya, minggu depan ya," ucapnya. "Ini aku berarti satu bulan penuh lembur. Kita beneran belum punya waktu kencan."
"Kita bisa ganti minggu depan. Udah sarapan? Badannya gimana?"
"Udah. Badan baik-baik aja." Arvin terdiam sejenak. "Nikah yuk, Bel? Biar nggak harus nunggu weekend buat kencan?"
"Kamu nikah cuma buat itu?" tukas Abel, yang dijawab Arvin dengan kekehan.
"Kamu tahu aku bercanda, Sayang. Tapi ajakanku buat nikah itu serius," jelasnya. "Yang sabar sama Mama ya, Bel. Gimana progres masak sama belajarmu?"
"Masih cari-cari gantinya Sekar," jawab Abel gelisah.
"Hmm...semoga cepat ketemu. Belajarnya juga jangan dilupa. Untuk sementara, jangan terima proyek dulu, ya. Fokus sama kita, bisa kan, Bel?"
Abel mengangguk patuh. "Iya."
"Iya? Belum saya cek...Abel, udah dulu, ya. Aku dicari. Uang bulanan sudah aku transfer. Kamu nggak perlu bingung lagi. Bye, Sayang. Semoga berhasil hari ini. Jangan lupa belajarnya, jangan lupa apa prioritasmu."
Sambungan terputus sebelum Abel sempat membalas. Gadis itu memeriksa akun banknya, dan menelungkupkan wajah kala melihat saldo bertambah beberapa digit.
**
Memasak,
adalah aktivitas yang belum familiar di hidup Abel, bahkan sampai sekarang.
Abel tidak pernah menganggap kemampuan memasak adalah hal yang penting. Memikirkan bagaimana ia bisa membayar kos-kosan lebih penting daripada belajar memasak. Mi instan, telur mata sapi, nasi goreng kecap-dan irisan sayur jika Abel sedang bersemangat- sudah cukup untuknya.
Namun seluruh persepsinya berubah ketika dia bertemu dengan Leah. Wanita itu langsung kecewa begitu menyadari jika kemampuan memasak Abel benar-benar mendekati enol.
"Perempuan sudah seharusnya bisa memasak. Itu sudah kodratnya. Apa yang mau dibanggakan dari perempuan jika bukan kemampuan memasak? Siapa yang akan mengurus suami kalau istri nggak bisa masak?"
Mara tidak pernah memberitahu Abel bagaimana caranya menjadi seorang wanita. Tidak pernah ada yang mengajarinya bagaimana menjadi seorang perempuan yang sempurna.
Meskipun Abel memanggil Mara dengan sebutan 'mama', pada kenyataannya mereka hanya orang asing yang sialnya disatukan di bawah atap yang sama. Quality time? Lupakan saja. Bicara dari hati ke hati layaknya seorang ibu? Sudah pasti itu bukan Mara.
Abel dulu tidak punya waktu memikirkan romansa. Abel sibuk berpikir bagaimana caranya makan esok hari, dia sibuk berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk membayar biaya-biaya praktiknya. Keluarga Permadi membiayai kuliahnya, tapi tidak dengan biaya hidupnya. Mereka tidak peduli dimana Abel tidur ketika menimba ilmu di kota orang, dan Abel jelas tidak bisa pulang pergi setiap hari ke rumah hanya untuk makan.
Jalan satu-satunya adalah mencari kos-kosan. Meskipun demikian, Abel menahan diri untuk merengek di depan Windu ataupun Mara. Dia memutuskan untuk bekerja di ruko fotokopi sebelum Saka mengajaknya bergabung dengan Dhalung.
Masa lalu mengajarkan Abel jika dunia bisa begitu kejam, maka Abel tidak pernah menempatkan romansa sebagai hal yang utama. Dia sibuk memberi jaminan pada hidupnya agar baik-baik saja. Namun Arvin, berhasil mengambil perhatiannya untuk pertama kali. Ia mengenalkan Abel pada debar aneh yang menyenangkan, juga pada rasa rindu asing namun melenakan. Kehangatan yang lelaki itu berikan, terlalu menggoda untuk diabaikan. Dan untuk pertama kalinya, Abel memberi ruang untuk romansa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Colour Palette [Published]
ChickLitKetika Abel tidak bisa menyebutkan nama-nama rimpang dengan benar, Abel sadar dirinya bukanlah menantu idaman Leah. Tapi, bukankah cinta selalu tentang perjuangan? Setelah kekurangan-kekurangan yang ia miliki, ia tidak bisa membiarkan kekurangan...