"Ini gila."
Saka duduk di hadapan Abel dan menelungkupkan kepala di meja, membuat gadis berbandana hitam itu menghentikan tarian jemarinya di atas kalkulator.
"Kenapa?"
Tanpa mengangkat kepala, Saka mengacungkan jari telunjuknya yang berdarah. "Jeno udah mulai sering durhaka sama gue."
Abel meliriknya dengan sebal. Gadis itu membenahi kipas angin mungil yang ada di mejanya, lalu lanjut berkonsentrasi pada laporan kegiatan yang ditulis tangan oleh Saka.
Merasa tidak mendapat respon dari Abel, Saka mengangkat wajah dan mencebik. Lelaki itu menumpukan dagu di lengan sambil mengamati ujung jarinya yang berdarah.
"Makin besar makin kuat ya capitannya Jeno. Padahal dulu waktu kecil imut banget. Capitnya putih gitu," gumam Saka. "Kayak cinta gue sama Jani, kan? Makin ke sini bukannya hilang, malah makin kuat. Harus gue apain, coba?"
Abel melirik Saka sejenak, lalu kembali menghitung.
"Masih sama si pengacara itu?" tanya Saka lagi. "Menurut lo, mereka bakal jadi?"
"Nggak tahu."
"Tapi sama Yudhis ini lebih lama daripada sama gue," Saka kembali mengamati telunjuknya. "Kayaknya Yudhis ini orangnya sabar banget."
"Hm. Mas Yudhis memang orangnya sabar," gumam Abel pelan. "Gue masih menyayangkan sikap lo, sejujurnya."'
"Mutusin Jani?" Saka terkekeh meskipun gurat sedih terpancar dari matanya. "Gue putusin dia karena dia akan semakin menderita kalau sama gue."
"Udah gue bilang, gue yang akan pergi dari Dhalung," sahut Abel. "Tapi lo, Ka, kenapa nggak ngebiarin gue pergi aja? Lo tahu kalau Mbak Jani nggak pernah suka lo bicara sama gue."
"Lo kira itu akan menyelesaikan masalah? Alasan utama gue mutusin Jani, adalah rasa benci yang terlalu besar untuk gue tanggung. Gue paham rasa sakit Jani. Tapi minta gue ikut ngebenci orang yang dia benci, gue nggak bisa. Apalagi sampai ngeganggu anak-anak Dhalung." Saka meraih laporan yang sudah selesai disusun Abel. "Jani harus berhenti, tapi gue bukan orang yang cukup kuat buat mendampinginya, karena gue cenderung nggak tega bilang nggak sama Jani. Gue--nggak bisa tegas kalau udah menyangkut Jani. Gue takut justru prinsip gue yg berubah."
Abel menatap Saka sejenak, merasa bersalah karena mengingat masa lalu. Ia bergabung dengan Dhalung jauh sebelum Saka mengenal Jani. Pertemuan mereka diawali dengan perdebatan kecil antara Jani dan Abel di kantin kampus bertahun-tahun silam, lalu tiba-tiba saja Saka memperkenalkan Jani sebagai kekasihnya.
Abel sudah membulatkan tekad untuk keluar dari Dhalung kala Jani sendiri memintanya--meneriaki, sebetulnya-- menjauhi Saka. Abel patuh. Ia keluar dari Dhalung agar kebencian Jani padanya tidak membesar.
Tapi Saka dan Yasa menyeretnya kembali. Dhalung masih butuh senior yang bisa membimbing para junior, kata Saka. Dan Abel kembali, meyakinkan diri jika itu adalah satu-satunya alasan ia kembali ke Dhalung. Meskipun pada kenyataannya, itu hanyalah bentuk dari egoisme Abel saja.
Sebab kepada satu-satunya tempat yang begitu hangat, Abel benar-benar ingin pulang.
Tapi tidak lama setelahnya, Saka justru berpisah dengan Jani. Padahal, Abel selalu kabur jika ada Saka. Dia hanya akan bergabung dengan gerombolan makhluk Dhalung jika sudah memastikan Saka tidak ada di sana karena dia tahu, Jani tidak suka Saka dekat-dekat dengan dirinya.
"Lo! Apa yang belum lo rebut dari gue? APA? LO REBUT PAPA GUE! LO REBUT SAKA DARI GUE! LO REBUT KEBAHAGIAAN GUE! LO CUMA BAWA SIAL DI HIDUP GUE!"
Abel memejamkan mata kala rasa bersalah itu kembali menerpanya. Gadis itu bersandar di punggung kursi, memijit pangkal hidungnya.
Lo egois, tahu nggak, Bel? Kalau saat itu lo pergi aja--
KAMU SEDANG MEMBACA
Colour Palette [Published]
ChickLitKetika Abel tidak bisa menyebutkan nama-nama rimpang dengan benar, Abel sadar dirinya bukanlah menantu idaman Leah. Tapi, bukankah cinta selalu tentang perjuangan? Setelah kekurangan-kekurangan yang ia miliki, ia tidak bisa membiarkan kekurangan...