15 | Efek Rasa Lapar

8.7K 1.4K 430
                                    

Sinar matahari yang menerobos sela tirai mengganggu tidurnya. Abel membuka matanya yang terasa berat dan bengkak, lalu merasakan seluruh tubuhnya dingin dan ngilu. Ingatan tadi malam menyerangnya tanpa ampun, membuat mata Abel kembali merebak.

Setengah sadar, tahu-tahu saja Abel sudah keluar dari kamar mandi dan berganti baju. Hari ini, dia harus bertemu dengan Arvin dan menjelaskan semuanya. Dhalung adalah hal penting baginya, seperti Leah dalam hidup Arvin, Abel tidak bisa mengesampingkan Dhalung begitu saja. Jika dijelaskan, Arvin pasti akan mengerti, lelaki itu pasti akan memaklumi...

Racauan Abel berhenti sebentar kala ia menyadari jika pintunya tidak dikunci sejak semalam. Sejujurnya, dia bahkan lupa bagaimana caranya ia sampai di rumah. Seluruh pikirannya sedang mati rasa. Gadis itu mengusap matanya, lalu membuka pintu dengan gemetar.

"Oh, udah bangun? Sini makan dulu."

Itu,

adalah kalimat pertama yang Nugi katakan begitu pintu terbuka.

Lelaki itu bersila di teras rumah dengan seplastik penuh kue bolen. Ia masih memakai kemeja tadi malam, terlapisi jaket hitam. Rambutnya tampak kusut dengan wajah bangun tidur. Maemunah tergeletak di sampingnya.

Abel bahkan tidak bisa memberi ruang bagi otaknya untuk merasakan sebuah ketidakberesan ini. Seluruh keberadaan tentang lelaki itu tidak penting. Abel hendak meraih motornya ketika dihadang oleh Nugi.

"Mau kemana?"

"Nggak perlu tahu," gumam Abel dengan suara yang nyaris hilang. "Minggir!"

"Mau ketemu cowok yang tadi malem?" Nugi masih berdiri dengan keras kepala.

"Minggir, Gi!"

Nugi menatapnya dengan cemas. "Lo berantakan gini, Bel. Tadi ibu-ibu sayur udah kasih pesenan lo. Gimana kalau kita makan dulu? Gue masakin, ya? "

"Lo tuh..." Abel menggigit bibirnya dengan erat untuk menahan air matanya. "Nggak berhak bilang gitu. Lo nggak ngerti apa-apa, jadi jangan ikut campur urusan gue."

Abel melewati Nugi yang terdiam di tempat. Gadis itu menuntun motornya keluar gerbang, sebelum lagi-lagi Nugi menahannya.

"Gue anter, oke?" Nugi terlihat ragu sesaat. Lalu meraih stang motor dan duduk di depan. Ia mengulurkan plastik makanan pada Abel. "Lo makan ini. Dompet gue ketinggalan, jadi hari ini gue antar kemanapun lo mau tapi lo perlu bayar gue. Deal?"

Melihat Abel yang masih berdiri seraya mendelik padanya. Sungguh, Nugi perlu memotretnya sebagai bukti jika Sabela Nawandini bisa berekspresi seperti ini.

"Bel, lo baru nggak konsen. Bisa bahaya di jalan," ucapnya serius. "Lo juga perlu makan agar lo nggak pingsan waktu gue boncengin. Gue janji antar lo kemanapun lo mau. Tapi, lo harus makan. Lo perlu pikiran jernih buat menyelesaikan apapun masalah lo sama dia, kan?"

Lelaki itu mengambil satu helm lagi dari almari helm untuk dipakainya sendiri. Sementara, Abel menatap camilan yang masih terasa hangat di genggamannya.

Nugi benar. Dirinya sedang kacau. Kalau dia mati di jalan, seluruh usahanya sia-sia. Lagipula dengan begini, Abel jadi punya waktu mengirim pesan pada Arvin untuk mengajak lelaki itu bertemu.

Sarapan bareng?

Tangan Abel terkulai setelahnya. Yang tadi malam itu, mungkin mimpi. Mungkin karena Abel terlalu memikirkan permasalahannya dengan Leah, mimpi itu hadir dengan begitu mengerikan. Dia perlu bertemu Arvin, dia perlu meyakinkan diri jika adegan tadi malam hanya terjadi di dalam kepalanya saja.

Depan kantor.

"Kantor ESDM," gumam Abel pada Nugi yang bungkam sejak tadi.

Colour Palette [Published]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang