49. Nge-date pt. 2

1.4K 173 9
                                    

Di hari terakhir jadwal final exam, saya tersenyum bahagia. Finally, libur panjang sudah di depan mata. Sekalipun saya tetap harus aktif di BEM-U untuk proker-proker ke depannya, tetapi itu bukan masalah. Setidaknya perkuliahan sudah tidak ada lagi untuk sementara waktu. 2 bulan tanpa tugas, jurnal, juga ujian adalah hadiah terindah untuk mahasiswa dengan otak pas-pasan seperti saya.

Besar harapan semoga IP (Indeks Prestasi) semester ini tetap tidak menurun. Meski tidak secerdas Hans— sang pemilik IP tertinggi, tetapi ada bagusnya juga kalau IP saya tiap semesternya menunjukkan peningkatan bukan penurunan.

Jadi jangan berpikir kalau anak SMA atau anak sekolahan saja yang perlu menjaga agar nilai mereka tidak turun demi masuk kampus idaman tanpa tes. Mahasiswa juga harus pintar-pintar menjaga agar nilai mereka tidak menyerupai bedside monitor.

Itu loh alat yang digunakan untuk memonitor vital sign pasien, berupa detak jantung, nadi, tekanan darah, temperatur bentuk pulsa jantung secara terus menerus.

Awal saya kuliah beberapa keluarga saya mencibir. Katanya jangan aktif organisasi. Nilai kamu akan turun, kamu tidak akan berprestasi. Lagi pula kamu masuk kuliah untuk belajar bukan buat berlembaga dan bla ... bla ... bla.

Persoalan nilai kamu yang akan turun, prestasi kamu tidak ada. Itu bukan karena organisasi. Itu karena kamu memang yang tidak bisa fokus, tidak bisa membagi waktu.

See ... kak Doy, kak Wildan, Jeffry, Hans, juga saya. Sorry ya, IP semester terendah yang kami punya itu kisaran 3.6 sampai 3.7. Bahkan untuk ukuran Jeffry yang notabenenya anak Teknik, IP-nya dia tidak di bawah 3.6 sejak semester awal. So, menjadi organisatoris tidak membuat kamu bodoh di nilai, kan?

Justru akan bagus kalau kamu IP-nya bagus, terus kamu organisatoris pula. Ada nilai tambah tersendiri. Juga ada kepuasan tersendiri, dan itu bisa kamu jual saat mencari kerja nantinya.

Terus ada juga yang bilang, menjadi organisatoris itu membuat kamu kuliah lebih lama. Kalau untuk satu ini tidak akan saya bantah. saya cuma mau berbagi pemikiran atau bisa dikatakan alasan kenapa organisatoris bisa kuliah lebih lama daripada mahasiswa kupu-kupu.

Misalnya nih, kak Doy yang sempro di akhir tahun, kemungkinan 50% untuk yudisium di bulan Maret. Nah, berhubung dia itu ketua, pasti akan ganjil kalau ketua BEM-U digantikan di akhir-akhir periode. Pergantian itu akan menjadi perkara besar saat mubes atau kongres nantinya. Jadi kak Doy bisa memilih untuk yudisium setelah demisioner dari BEM-U.

Bukan seperti senior saya yang dahulu itu. Dia lama karena memang pemalas, bukan karena seorang organisatoris. Meski melabeli dirinya sebagai aktivis hebat.

Kelamaan durasi di kampus bukan berarti berleha-leha sampai memasuki 9 semester atau lebih. Bukan seperti itu. Karena menjadi pengurus lema itu memang batasan normalnya sampai semester 8. Lewat dari itu, status sudah menjadi anggota luar biasa. Tidak lagi memegang sesuatu di kepengurusan inti kecuali sebagai DPO (Dewan Penasehat Organisasi) atau DPH (Dewan Penasehat Himpunan).

Aturan main yang seperti ini berlaku di kampus saya beberapa tahun terakhir. Saya tidak tahu pasti aturan main tahun-tahun sebelumnya. Mungkin berbeda atau tidak sama sekali.

Namun, satu hal yang harus kamu tahu, memilih untuk menambah ataupun tidak durasi semester itu hak kamu. Sama seperti beberapa pengurus BEM-U yang sudah menyelesaikan sempronya bulan-bulan kemarin. Saat ini mereka disibukkan dengan persiapan ujian akhir dan yudisium setelahnya. Itu pilihan juga hak mereka.

Meski akan terjadi kekosongan pengurus atau mungkin reshuffle, tidak boleh ada yang protes. Karena memang mereka memilih untuk menyelesaikan kuliah lebih cepat daripada yang lainnya. Sekali lagi itu hak mereka. Karena dalam dunia kelembagaan, apabila seorang pengurus yudisium, maka status keanggotaannya sudah berubah dan dia otomatis lepas jabatan.

Mahasiswa- Akademik, Cinta, OrganisasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang