65. Akhir Cerita

2.8K 154 18
                                    

Kondisi posko saat saya dan Jeffry tiba, sunyi senyap. Kami berdua tidak mendeteksi keberadaan Jese maupun Juan di sini, hanya jejak yang mereka tinggalkan yang membuat saya geleng-geleng kepala.

Bagaimana bisa mereka menghilang dengan keadaan posko yang seberantakan ini? Apa kata bu Sri dan suami kalau tahu rumahnya berantakan lalu ditinggal entah ke mana. Karena setahu saya, hari ini belum ada agenda mengenai proker kami berempat pun proker kak Fauzi yang entah di mana keberadaannya sekarang.

Belum semenit kami masuk lewat rumah bu Sri, beliau sudah berangkat ke kantor. Hampir saja kami hanya berdiri dan menunggu bodoh kalau terlambat tiba.

Menghubungi Juan dan Jese adalah pekerjaan sia-sia. Nomor mereka di luar jangkauan, dan kami juga belum sempat bertanya ke bu Sri akan keberadaan mereka.

Mau tidak mau, meski lelah akibat perjalanan, baik saya maupun Jeffry memilih untuk mulai membereskan posko sedikit demi sedikit. Mulai dari ruang tengah hingga kamar mandi, lalu kedua kamar yang kami berempat tempati.

"Sudah?" Jeffry menghampiri saya yang membereskan tempat tidur depan, tempat saya dan Jese.

"Sedikit lagi. Kenapa?"

"Lapar." Saya menghela napas pelan.

Itu perut apa gentong? Baru sejam lalu kami makan di dekat kos saya sebelum bertolak menuju posko, mana makannya dia banyak. Kenapa lapar secepat itu?

"Mau aku masakin apa?"

"Mi goreng buatan kamu itu enak. Pakai bawang mentah yang disiram minyak panas, kan?" Saya mengangguk membenarkan.

Mi instan adalah favorit saya dan dengan kecanggihan teknologi, ada banyak cara pengolahan yang saya dapatkan dari internet. Beberapa berhasil saya buat, beberapanya lagi gatot— gagal total. Dari semua yang pernah saya coba, mi gorenglah yang paling saya sukai dan ternyata Jeffry juga suka itu.

Selera kami memang berada di level yang sama.

Saya melanjutkan beres-beres kamar, Jeffry keluar rumah menuju warung terdekat untuk membeli mi instan yang kebetulan sudah habis dari stok persediaan kami di posko, sekaligus membeli beberapa tambahan seperti sosis, telur, juga nugget.

Menu instan yang menggugah selera sekaligus mempercepat menghilangnya lembaran-lembaran merah, biru, dan hijau penggemuk dompet.

Dibantu dengan tangan cekatan miliknya, sajian sederhana dengan aroma mewah sudah terhidang di hadapan kami berdua. Perlahan kami menyantap dan menikmati sendok demi sendok kegurihan yang tersaji.

Drt ... rrtt ... rt

Getaran ponsel kami yang terletak di atas meja membuat saya dan Jeffry menghentikan sejenak aktivitas kami. Bisa-bisanya ponsel kami berdua bunyi bersamaan.

"Panggilan grup." Jeffry meletakkan kembali ponselnya. Dia bukan tipe orang yang senang diganggu saat makan, apalagi hanya sebuah panggilan yang dia pastikan bukan sesuatu yang penting dan mendesak.

Berbeda dengan saya yang tetap suka bermain ponsel sambil makan. Jeffry sudah terlalu sering menegur saya saat kami makan bersama dan saya tetap asyik memainkan ponsel di tengah-tengah suapan makanan saya.

Sama seperti kali ini, saya memang tidak menjawab panggilan grup yang dilakukan Bintang, tetapi saya tetap memantau grup kami yang mulai ribut.

"Makan dulu, Wina!" Saya melanjutkan makan, menaruh ponsel saya bersandar pada gelas minum, dan memantau percakapan teman-teman saya yang sudah lama tidak bersua. 

 

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mahasiswa- Akademik, Cinta, OrganisasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang