43. Perempuan, Rasa, Logika

1.3K 172 13
                                    

Ada tiga perkara yang menjadi penghancur manusia di dunia yang makin menua ini. Sangat umum terdengar di telinga, Harta, Tahta, dan Wanita.

Siapa yang masih asing dengan ketiga kata tersebut? Saya rasa tidak ada, kan?

Di zaman yang menua dengan fasilitas yang makin canggih, membuat banyak informasi makin mudah menyebar. Begitu pula dengan perkara harta, tahta, dan wanita, yang tidak pernah terpisahkan dari kaum laki-laki.

Mereka yang bergelimang harta, mempunyai tahta, pasti dikelilingi banyak wanita. Seperti itu, bukan?

Namun saya tidak akan membahas ketiga perkara itu, terlebih dari sudut pandang lelaki. Bukan karena saya malas berbagi, saya hanya tidak mau mengambil pusing karena saya pun kurang mengerti dengan perkara tersebut.

Kali ini tentang perempuan, rasa, dan logika. Kalau pada umumnya perempuan hanya mengandalkan perasaan mereka daripada logikanya, mari kita menyelami diri saya— yang tidak akan mau membuang logika saya dengan mengedepankan perasaan saya.

Bohong kalau saya tidak kepikiran dan terbawa perasaan dengan fitnah yang menyeret nama saya dan kak Wildan. Lebih bohong lagi kalau saya menampik persoalan ketidaksukaan saya mendengar kalau kak Wildan sudah ada yang punya.

Saya mengakui hal itu. Rasanya lebih menyesakkan daripada menyadari kalau kak Doy milik kak Ody. Padahal status mereka sama saja, kan? Sama-sama senior saya di lembaga.

Lantas kenapa saya lebih kecewa saat tahu kalau kak Wildan sudah bersama dengan perempuan lain?

Gila. Kenapa perasaan itu menyiksa? Kenapa juga saya merasa kecewa padahal saya bukan siapa-siapa, saya tidak pernah diberi harapan maupun janji apa-apa?

Mungkinkah ini karma? Atau azab? Karena selama ini saya selalu menjelek-jelekkan yang namanya senior? Saya terlalu sombong dan angkuh dalam berbicara soal retorika mereka? Soal jebakan mereka?

Bisa saja.

Finally, saya yang banyak protes ini akhirnya dihadapkan dengan perkara yang sama. Suka sama senior karena perhatiannya, karena keramahannya. Bukankah saya masuk dalam korban retorika atau lebih tepatnya korban peran mereka di hadapan juniornya?

Berkoar-koar yang selama ini saya lakoni ternyata berbanding terbalik dengan apa yang saya jalani. Saya benar-benar hanyalah pecundang. Miris, bukan?

Tok ... tok ... tok

"Ck ... siapa yang bertamu sih?"

Dengan kesadaran seadanya, saya berjalan ke kamar mandi, menenggelamkan wajah saya ke bak mandi, bukan buat bunuh diri, tetapi itu salah satu terapi yang biasa saya lakukan untuk menyegarkan wajah saya.

Biasanya sih ampuh kalau cuma kusut akibat begadang, tetapi entah kalau begadangnya ditambah menangis.

Oke. Saya kembali jujur. Ini sudah hari kedua saya mendekam di kos, tidak masuk kuliah, dan mengabaikan semua sosial media saya.

Sakit hati saya memang separah itu, bukan hanya karena kak Wildan, tetapi karena gosip-gosip tidak mengenakkan yang beredar di mana-mana. Saya kesal, sangat. Makanya saya malas menginjakkan kaki di kampus.

Seandainya pulang ke rumah tidak mengundang pertanyaan-pertanyaan dari ayah dan ibu, saya akan lebih memilih untuk pulang.

Setelah memastikan wajah saya lebih segar dan penampilan saya sedikit lebih hidup, saya berjalan ke arah pintu lalu membukanya dan dibuat kaget karena orang yang selama ini membayangi saya berdiri tepat di hadapan saya dengan ekspresi khasnya.

Setelah memastikan wajah saya lebih segar dan penampilan saya sedikit lebih hidup, saya berjalan ke arah pintu lalu membukanya dan dibuat kaget karena orang yang selama ini membayangi saya berdiri tepat di hadapan saya dengan ekspresi khasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Mahasiswa- Akademik, Cinta, OrganisasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang