38. Retorika Senior

1.3K 162 0
                                    

Selebaran yang dikumpulkan maba di hari ketiga LK baru saya keluarkan dari kardusnya. Mumpung BEM-U lagi sepi karena kebanyakan pengurusnya sedang ada kelas ataupun mungkin masih bersantai di rumah. Yang menginvasi BEM-U adalah penghuni room chat UWU 97.

"Mau dibantuin tidak?" Saya mengangguk mengiyakan.

"Bisa juling kalau aku baca sendiri." Mereka malah tergelak.

Saya mengeluarkan kertas-kertas tersebut dan membagikannya ke mereka. Kami bersembilan serius dengan lembaran masing-masing, tanpa membuat obrolan.

Kesan yang maba tuliskan ada yang lucu, ada pula yang terlalu diplomatis.

Mereka sudah banyak berubah. Pemikiran mereka juga sudah berkembang, sudah menunjukkan jati diri sebagai mahasiswa.

Saya jadi penasaran, beberapa bulan ke depan setelah mereka menyelesaikan semua rangkaian pengaderan akan seperti apa pemikiran mereka.

Mungkin mangajak mereka nongkrong akan jadi pilihan yang tepat.

"See ... " Yuju menunjukkan kertas yang dipegangnya ke kami.

"Unjuk rasa itu salah satu langkah untuk memperjuangkan keadilan. Lewat unjuk rasa kita bisa menyampaikan aspirasi, bisa mengeluarkan unek-unek, sekaligus membela kaum yang tertindas."

"Lumayan ... "

Kami kembali fokus pada lembaran-lembaran lainnya. Intinya hampir sama, pemikiran-pemikiran simpel terhadap unjuk rasa.

"Kata kak Bino, unjuk rasa itu wajib dilakukan. Selain untuk kepentingan bersama, bisa juga kepentingan pribadi. Banyak teman, banyak kenalan, jadinya banyak link."

"Dih ... siapa tuh?" Mirza melirik lembaran yang dipegang Jese.

"Anak Sastra, nih," ucap Bintang.

"Masa?"

"Kak Bino itu ketua BEM-nya Sastra." Mereka mengangguk bersamaan, kecuali Bintang pastinya.

"Kalau dari kalimatnya sih, maba ini lumayan dekat dengan kak Bino." Saya melirik Bintang, menuntut penjelasan dari dugaannya itu.

"Kamu tidak kenal kak Bino sih, La." Dia menjeda kalimatnya. "Dia itu senior yang paling diplomatis. Aku heran kenapa bisa dia yang naik menjadi ketua. Padahal Sastra umumnya tahu dia orangnya seperti apa."

"Memangnya dia kenapa?" Pertanyaan Yugi membuka dunia pergibahan bagi kami bersembilan.

"Orangnya yang mana sih?"

"Yang pakai kotak-kotak hitam di rapat insidentil kemarin."

"Yang gagah itu?" Saya dan Bintang terbahak mendengar pertanyaan Jese.

"Gagah dari mananya? Masih jauh lebih gagah juga temanmu ini," jawab Bintang membanggakan diri.

Kalau narsisnya kambuh rasanya saya ingin menceburkan dia di danau kampus.

"Gagah-lah. Kalau dia masuk ke jejeran BEM-U, kalian akan kalah pesonanya di depan maba."

"Nah ini nih yang disebut korban retorika senior," cibir Bintang.

"Dih ... sok-sokan. Retorika apa? Mendengar dia bicara saja baru sekali."

"Tetapi terkesan, kan?" ledek saya yang dihadiahi gulungan kertas tepat di kepala.

Kami menertawai Jese yang terlihat salah tingkah.

Perempuan itu mudah ditebak kalau sedang tertarik atau tidak dengan seseorang. Kesan malu-malunya tidak mudah disembunyikan setiap kali pembahasan tentang gebetannya naik ke permukaan.

Mahasiswa- Akademik, Cinta, OrganisasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang